Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

19 August 2007

Cerita yang Tersisa

“Aku kira memang sebaiknya kau kembali ke daerahmu. Tak perlu kau teruskan studymu di sini. Kau manfaatkan uang yang kau miliki itu untuk membeli buku sebagai referensi tulisanmu. Tempatmu bukan lagi di student, sudah selayaknya kau terjun ke sektoral membangun basis pemuda, buruh atau tani. Sudah kita yakini bersama sejak dulu bahwa perjuangan tidak tuntas sampai di sini, kawan.”

Ya, aku kira memang benar ucapanmu malam itu waktu kita berdiskusi di warung kopi dekat rel kereta depan Graha pena. Kau sungguh tahu dan begitu peduli dengan kondisiku. Ide. Gagasan cemerlang – walau kadang kupikir terlalu naif -- itulah yang aku suka darimu yang selalu lahir dalam diskusi-diskusi kecil yang sering kita lakukan berdua menghabiskan malam. Aku pun tahu dengan posisi dilematismu melihat dinamika kawan-kawan yang lain. Tetapi, itu tak membuat kita mundur selangkah pun. Sudah sekiranya memang aku harus meninggalkan dinamika ini. Seiring gerak materi yang semakin cepat tentunya kita harus berdialektika dengannya. Tidak baik terlalu lama berdiam diri dalam kondisi stagnan yang bisa melumpuhkan kaki kita.

“Kau usah risau dengan kondisi kita hari ini. Toh kepergianmu kali ini hanya membuat kita berpisah untuk sementara waktu. Kita berpencar untuk menyusun kekuatan dan nantinya kembali menyatu dalam satu barisan kokoh. Walau belum saatnya, tetapi karena kondisi berbicara lain, tak apa kalau kau memulai lebih dulu.”

Tentu saja. Walau nurani ini berkata lain karena beban psikologis yang tertang gung. Rasa bersalah meninggalkan tugas dan tanggung jawab yang belum bisa terselesaikan. Entah mengapa, hati lebih rela meninggalkan study daripada meletakkan tugas-tugas organisasi dan meninggalkan dinamika ini. Semoga kau tahu apa yang aku rasakan, dan aku kira kau memang tahu.

“Jangan berpikir terlalu pragmatis. Aku kira kita bukan tipikal orang yang suka beromantisme dan kita tidak terdidik seperti itu, bukan? Itulah bara yang tak akan pernah padam dalam hati kita. Selalu menyulut dan mengobarkan semangat perlawanan.”

Ah, dalam kesuraman dan keletihanmu itu, kau tetap saja agitatif mendorongku.
Selalu meyakinkan bahwa tidak ada yang salah dalam pilihanku dan memaklu mi keadaanku. Andai saja kondisi berkata lain, tentu aku masih belajar dan berdinamika bersama mereka saat ini. Tetapi apa daya jika di sini gaji kerja parttimeku hanya bisa buat makan dan membeli buku tanpa mampu membayar SKS dan biaya praktikum per semester. Beruntung betul mereka semua itu yang masih bisa menikmati bangku akademis. Kadang gumamku dalam hati.

Uang memang bukan perkara yang sepele karena alasan inilah aku terpaksa menghentikan kuliahku. Meninggalkan sementara bangku akademis untuk waktu yang tak aku ketahui sampai kapan bisa aku sambung lagi. Bahkan, perjuangan pun tak luput dari peran uang. Seringkali dalam wisata demokrasi yang aku lakukan bersamanya dan kawan-kawan untuk acara konsolidasi di kota lain atau sekedar solidaritas dalam acara tani dan aksi buruh besar-besaran, terpaksa aku harus tinggal sejenak di kota yang aku singgahi karena masalah finansial, kehabisan logistik. Terpaksa cara pendek yang diambil mencari utangan atau menunggu kiriman uang.

“Uang memang untuk segala, tetapi tidak segalanya. Jangan pernah dipermain kan oleh uang. Namun yang terpenting, bagaimana kita mempermainkan uang. Dalam masyarakat posmodern sekarang ini, seperti Lyotard bilang, masyarakat ramai-ramai berkubang dalam mentalitas “apa saja boleh”, dan suasana jaman ini adalah suasana kemerosotan. Dan kau tahu kenyataan yang mendasari sikap “apa saja boleh” ini, tak lebih sesungguhnya adalah uang. Paradigma seperti inilah yang mengakomodasi semua aliran, layaknya modal mengakomodasi semua “kebutuhan”. Aku kira begitu pendapatku, kawan.”

Tak perlu naif karena memang seperti itulah sekarang ini. Hanya manusia yang tak punya otak yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Bahkan, para korporat-korporat anjing sialan itu yang tiada hentinya melakukan eksplo itasi, ekspansi dan akumulasi demi keuntungan pribadinya semata. Tak ayal penghisapan manusia atas manusia masih terus bercokol. Dan yang menjadi korban adalah mereka massa rakyat kelas menengah ke bawah. Mereka yang terus-menerus ditindas.

“Jadi, bagaimana dengan rencanamu sekarang?”

Meninggalkan kota ini. Aku harus mendapatkan pekerjaan untuk bertahan hidup, selain terjun ke sektoral, tentunya. Untuk sementara aku akan pergi ke Jakarta belajar berdinamika bersama serikat buruh selama beberapa waktu. Setelah itu aku akan kembali ke daerahku. Tak lupa, sedikit membuat catatan tentang perjalananku selama ini. Siapa tahu ada penerbit yang mau menerima dan bersedia menerbitkannya. Jika tidak, biarlah kelak dia menjadi sebuah karya yang kunikmati pribadi. Tersimpan dan membaur dalam tumpukan buku-buku dan makalah-makalah di lemari kayu sampai berselimut debu dan usang.

“Seandainya mimpimu itu terwujud, semoga saja kau tidak tenggelam dalam eksistensi diri. Melupakan semua tugas kita yang masih belum selesai.”

Aku masih punya kamu untuk mengingatkanku seandainya lupa dengan peran dan tugasku. Bukankah kita sepakat untuk saling kritik oto kritik?

“Aha,...ya, tentu saja. Tak masalah pula jika kau kelak berkarir profesional, tapi jangan hilangkan nuranimu, juga jangan kau lacurkan idealismemu itu.”

O, sepertinya kita bukan seorang ortodoks yang berpikir konservatif, bukan? Kau terlalu tenggelam dalam paradoks pemikiranmu. Atau barangkali kau kekurangan alkohol?

“Itu sekedar ketakutanku karena kita rentan dengan watak-watak oportunis.”

Ya, ya aku tahu itu. Semoga ketakutanmu tidak menjadi kenyataan buatku. Sungguh perjuangan ini tak semudah yang aku kira. Bukan waktu yang sebentar untuk mewujudkan demokrasi kerakyatan di negeri ini. Kelak kita juga tidak akan tahu siapa yang masih tersisa dan meneruskan langkah revolusioner ini, atau bisa jadi semua tumbang di tengah jalan. Bisa aku, kau, atau kawan-kawan yang lain. Entahlah...

Akhirnya, kita semua akan dihadapkan pada pilihan gerak masing-masing paska mahasiswa. Entah nantinya akan terjun ke politik profesional atau bergerak bersama buruh atau tani. Seperti halnya pada posisi dilematisku saat ini.

Kita berada di persimpangan jalan, kawan.

Aku tidak yakin apakah kita bisa bertemu lagi dalam satu barisan kokoh. Dalam satu garis koordinasi. Seperti yang kau katakan malam itu waktu kita diskusi di warung kopi dekat rel kereta depan Graha Pena. Sedang hari ini aku bukan lagi kawanmu yang dulu. Satu prinsip, satu ideologi, satu gerak dalam satu barisan. Segalanya berubah penuh. Seandainya kau melihatku sekarang aku yakin pandanganmu akan sinis terhadapku. Kau boleh jadi menyebutku oportunis, pelacur intelektual, anjing birokrasi, penjual kemanusiaan, penindas baru dan hal serba busuk lainnya. Aku akan terima itu karena bukan tanpa alasan aku seperti ini. Kelak kau akan lihat dengan matamu sendiri bahwa semua itu penuh kebusukan. Politik, sadar atau tidak membuat kita menjadi picik. Semua berbicara tentang kepentingan masing-masing. Bahkan, banyak diantara kawan-kawan kita yang paska, muncul pertentangan dan eksistensi diri. Tak pernah sekali pun bertemu dalam satu titik. Tidak salah jika Freud bilang, manusia adalah serigala bagi sesamanya.

Untuk itu aku tinggalkan semuanya tanpa bekas. Persetan kau bilang aku apa. Aku ingin hidup apa adanya. Damai dalam pilihan dan persepsiku. Aku apatis? Bisa jadi, ya. Aku rasa aku cukup lelah untuk meneruskan langkahku dulu. Tidak kuanggap sedikitpun semua itu sia-sia. Karena tidak ada yang sia-sia. Perlu kamu tahu, aku masih percaya revolusi bakal terjadi. Tak lama lagi. Bila tiba waktunya, aku tak tahu dimana peranku saat itu. Mungkin aku akan lebih memilih tenggelam dalam sejarah. Terasing dari kalian.

Sekali lagi aku lelah. Cerita ini telah aku tutup.


Surabaya, 2007