Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

09 July 2007

Mutiara Pesisir Utara

"Mari dik, silahkan masuk", bapak tua itu mempersilahkan aku dan temanku serta beberapa gerombol orang, tampaknya para pemuda kampung ini, masuk ke dalam rumahnya yang sangat sederhana. Kami semua baru pulang dari sebuah konsolidasi yang dilakukan di desa Lumbung yang jaraknya kurang lebih 25 kilometer dari desa ini. Perjalanan pulang dari desa Lumbung kami tempuh dengan naik truk bersama para penduduk yang ikut konsolidasi pada malam itu. Ada dua truk yang mengangkut kami. Desa yang aku tuju namanya desa Kapu. Letaknya di pesisir utara Pulau Jawa. Jangan bayangkan bahwa jalan masuk ke desa ini mudah ditempuh. Justru sebaliknya, kondisi jalannya sangat buruk. Banyak lobang di sana-sini yang terpaksa truk yang kami tumpangi harus berhati-hati. Sedikit kesalahan saja bisa berakibat fatal karena di samping jalan adalah jurang terjal. Sangat memprihatinkan dimana infrastruktur jalan menuju desa ini tidak diperhatikan sama sekali oleh pemerintah daerah setempat. Mereka terlalu mementingkan pembangunan di pusat kota. Mengabaikan kepentingan penduduk pinggiran yang sangat jelas mereka juga membutuhkan akses ke kota untuk menjual hasil panen dan kepentingan sosial ekonomi lainnya.

Sebelum masuk ke desa ini, aku disuguhi dengan pemandangan hutan yang begitu lebat. Malam hari telah membuat suasana hutan ini menjadi tampak garang namun bersahabat. Dia seolah bangga menunjukkan keperkasaannya pada semua makhluk yang ada disekitar dan membuatnya tunduk ketika harus melewatinya. Setelah satu setengah jam berlalu, akhirnya kami pun sampai di desa Kapu. Sebuah perjalanan yang sama melelahkannya dari Jogja - Semarang, bahkan lebih melelahkan. Akhirnya kami semua berkumpul di rumah salah seorang warga yang ikut konsolidasi tadi. Malam ini terasa hening. Angin bertiup lamban penuh irama. Menyapu dan membelai pohon-pohon disekitar. Menimbulkan irama gemerisik yang teratur. Terdengar pula dengan jelas suara kinjeng dan jangkrik yang mencoba berkolaborasi dengan angin malam serta suara burung hantu yang menjadi satu symphoni alam. Sebuah orkestra yang sangat indah. Mengalun pelan dan sesekali menciptakan hentakan. Satu kesatuan bertempo Andante dan allegro. Aku merasa nyaman. Damai. Penuh ketenangan.

"Jadi adik berdua ini namaya siapa dan darimana?" kata bapak tua itu memulai percakapan. " Kan sedari tadi kami semua di sini belum sempat berkenalan dengan sampeyan."

"Saya Agus, pak" demikian aku memperkenalkan diri.

"Dan saya Anton" sambung temanku.

"Kami berdua dari Jogja. Kedatangan kami tak lain adalah ingin mencoba berdinamika bersama para warga di sini. Kami ingin belajar banyak tentang kondisi di kampung ini, pak" begitulah aku mengutarakan maksud kedatangan ku dan temanku.

"Berarti sampeyan yang akan membantu kami untuk persiapan acara tani lusa?" tanyanya.

"Benar, pak" jawab Anton.

"Nama saya Wiro. Sebenarnya saya bukan kepala kampung di sini. Namun, saya selalu dipercaya untuk mewakili setiap acara di Balai Desa dan acara rembug lainnya untuk menyampaikan aspirasi para warga di sini. Ya, bisa dibilang saya termasuk sesepuh di desa Kapu. Desa pinggiran yang semakin terpinggirkan" begitu penjelasannya.

"Terpinggirkan bagaimana,pak?"tanyaku

"Kami ini sudah miskin dik dan semakin dimiskinkan oleh mereka para penguasa perkebunan ini. Kalau dulu orang menyebutnya para setan desa. Kami yang bodoh ini telah banyak dibodohi oleh sistem".

Tiba-tiba seorang pemuda yang duduk di samping kiri pojok ikut bicara. "Kami semua di sini hampir tidak memiliki apa yang seharusnya kami miliki. Harta berharga yang kami miliki tidak jelas statusnya. Harta yang mampu menyambung penghidupan kami. Tanah."

"Benar mas" sambung pemuda yang berselubung kain sarung di sebelah kanannya. Walaupun bukan musim penghujan, tapi angin kering malam ini semakin mendinginkan. "Kami di sini banyak yang menjadi petani dan nelayan. Tetapi, tanah kami semakin tergusur oleh perkebunan milik PT. Tanpa tanah mana bisa kami bertani dan disebut petani? Menjadi buruh tani pun tidak jelas kesehariannya. Para pemilik sawah hanya mempekerjakan beberapa orang karena sawah yang mereka miliki juga tidak terlalu luas. Untuk menyambung hidup sebagian diantara warga di sini melaut mencari ikan. Dan sampeyan juga tahu jarak desa ini ke kota bukan? Terkadang kami kesulitan untuk menjual hasil tangkapan ke pasar karena tidak ada transportasi. Akhirnya, kami terpaksa menjual ke tengkulak. Bisa ditebak, harga yang kami terima tidak sepadan dengan biaya melaut. Begitu pula dengan hasil panen pertanian. Tidak jauh beda" jelasnya dengan tegas.

"Dari dulu tanah dan kesejahteraan petani, para nelayan dan buruh selalu menjadi persoalan di negeri ini,pak" ungkapku.

"Hampir belum ada penyelesa ian secara konkrit. Pemerintah yang katanya sedang melakukan revitalisasi pertanian ternyata hasilnya sama saja, belum maksimal. Masih jauh dari apa yang diharapkan. Malah ironisnya mereka tetap saja mengimport beras dengan alasan petani gagal panen yang menjadi legitimasi murahan yang masih dan selalu saja dipakai. Dua hari yang lalu saya mendapat kabar dari seorang kawan di Timur. Dia bilang ada warga di sana yang sedang bersengketa dengan militer gara-gara perebutan tanah. Mereka ingin menuntut pengembalian tanah yang menjadi hak mereka. Tapi apa alhasil? yang mereka dapatkan bukan tanah, melainkan selongsong peluru yang ditembakkan ke warga yang menuntut pengembalian lahan garapan mereka. Akhirnya, perjuangan mereka harus dibayar dengan darah tanpa ada hasil. Sedangkan mereka para militer itu sedang asyik membela diri di depan hukum dan media. Memutarbalikkan fakta seolah mereka tidak berdosa dengan apa yang mereka lakukan. Tak mau disalah kan dan tak mau mengakui kesalahannya."

Semua orang yang sedang berkumpul di rumah itu tampak hikmat mengikuti diskusi ini. Begitu pun denganku dan Anton. Inilah kali pertama aku terjun langsung ke massa. Bersinggungan langsung dengan kontradiksi-kontradiksi yang mereka alami dan bertukar wacana dengan mereka. Sungguh sebuah pergerakan materi yang berbeda dengan dinamika mahasiswa. Ah, mahasiswa!. Berapa banyak diantara kau yang peduli dengan kondisi sosial bangsa ini?. Mereka tidak sadar dengan perannya sebagai intelektual muda, sebagai solidarity maker. Mengkritisi kebijakan negara yang hampir semua mengingkari kedaulatan rakyatnya sendiri. Aku merasa malu dengan statusku ini. Pelabelan "Maha" yang semakin kehilangan makna.

Apakah ini terlalu idealis? Aku kira ini bukan masalah terlalu idealis atau sok idealis atau bahkan tidak idealis. Ini adalah masalah kebenaran. Apakah akan kita ingkari kebenaran sejarah bahwa kemerdekaan di negeri ini adalah juga sumbangsih peranan generasi muda, para intelektual muda pada masa kolonial? Mereka yang terus melakukan perlawanan sampai darah penghabisan. Dan sekarang, apakah kita akan diam saja melihat penjajahan kolonialisme gaya baru, imperialisme gaya baru, neoliberalisme yang nyata-nyata semakin membunuh petani, buruh, nelayan dan masyarakat tertindas lainnya?. Dan kita cuma asyik melakukan perdebatan teoritis di tingkatan akademis tanpa pernah mau terjun langsung bersama mereka massa tertindas!. Ah,...

"Dik Agus, dik Anton mari diminum kopinya mumpung masih panas. Ini disambi juga jagung dan ketela rebusnya. Maklum di kampung jadi cuma ada ini beda kalau di kota" kata pak Wiro menawari kami berdua.

"Ah, pak Wiro bisa saja" kataku

"Dulur, ayo monggo disambi" sambungnya

"Nggih..."jawab mereka para pemuda dengan serentak

Di meja penuh berjajar jagung dan ketela rebus dalam wadah piring, juga beberapa gelas kopi yang menjadi hidangan pelengkap diskusi. Ada juga tembakau dan kertas lintingan rokok lengkap dengan alat pelinting rokoknya. Rumah ini penuh dengan asap kepul rokok. Lampu penerangannya pun tidak begitu terang. Mirip suasana diskusi tempo dulu ketika tahun ‘60an. Akhirnya, semua mencair penuh keakraban. Beberapa orang masih setia berkumpul dan saling mengobrol. Aku merasakan keintiman yang amat sangat. Kami berdua akhirnya berkenalan satu persatu dengan para pemuda kampung yang ada di rumah itu.

"Sekarang negara semakin tidak berpihak pada petani. Pemerintah lebih percaya modal dari pada petani untuk mengelola tanah. Mereka tidak percaya perekonomian mandiri oleh petani" giliran Anton mulai bicara.

"Kenapa mas Anton?" tanya pemuda kampung yang bernama Sumadi.

"Kemarin pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang isinya sangat jelas akan semakin menyengsarakan petani. Undang-undang ini sangat bertentangan dengan apa yang termaktub dalam UUD ’45 pasal 33 dan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Undang-undang juga ini lebih kejam dari Agrarische Wet yang diberlakukan pada tahun 1870 oleh kolonial Belanda. Dalam UUPMA ini pemerintah akan memberikan fasilitas bagi pemodal berupa HGU selama 95 tahun, HGB selama 80 tahun, dan Hak Pakai selama 70 tahun. Jika dibandingkan dengan Agrarische Wet yang hanya memperbolehkan pemakaian tanah seperti hak erpacht ini selama 75 tahun saja. Benar-benar fantastik!. Dan nantinya petani hanya bisa menjadi buruh tani yang tidak jelas nasibnya. Atau malah semakin terasing di negeri sendiri".

"Astagfirullah..." gumam pak Wiro miris

"Pemerintah selalu memaksa kita untuk mengerti dan mematuhi peratur an perundang-undangan dan hukum. Tetapi, mereka tidak pernah mau mengerti dan peduli dengan apa yang petani rasakan. Terus terang pak, saya semakin tidak percaya dengan birokrasi di negeri ini" sambung Anton.

"Kalau memang seperti itu, lantas bagaimana dengan nasib kami, anak cucu kami di masa mendatang? Kami akan semakin miskin dan sengaja dimiskin kan, bukan?" tanya pak Wiro

"Ya begitulah yang terjadi. Namun, kita masih mempunyai harapan untuk merubah kondisi ini. Sudah saatnya para petani membuka kesadaran diri untuk berorganisasi. Menyatukan kekuatan dan melakukan perlawanan. Kita akan sama-sama berjuang, pak!" kataku.

"Memang benar apa yang sampeyan katakan" ungkap pak Wiro sambil menghisap rokok di tangan kirinya, "Kami di sini merasakan manfaat yang sangat dalam berorganisasi. Dulunya kami ini bodoh dik, tidak tahu apa yang harus kami lakukan dengan kondisi seperti ini. Sejak kami bergabung dalam ormas tani ini kami mendapat banyak pencerahan".

"Saya sepakat...!" kata Sumadi tiba-tiba menyela.
"Kita akan satukan kekuatan. Besok pada puncak acara tani, kita akan sampaikan tuntutan kita ke pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa tanah dan mendesak pemerintah agar memberikan lahan garapan buat petani demi kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat".

"Benar...benar...itu yang akan kita perjuangkan!" serentak semua bersepakat.

"Landreform, tanah untuk rakyat!" gumamku penuh haru.

Malam bertambah larut. Dingin yang terasa semakin menembus ke dalam tulang. Diskusi malam itu kami akhiri pada dini hari. Semua orang tampak lelah setelah konsolidasi dari desa Lumbung sejak sore tadi. Ditambah diskusi penghangat suasana yang semakin memantabkan langkah perjuangan kami. Namun, dari mata mereka tetap terpancar api perlawanan yang tak pernah padam. Sudah saatnya mereka melakukan perubahan atas kondisi yang telah lama mereka alami. Mereka harus mengakhiri ketertindasannya.

Malam ini aku belum bisa tidur. Masih terbayang di kepalaku bagaimana semangat perlawanan mereka yang begitu membara. Mereka bangkit dari kontradiksi-kontradiksi yang ada. Tersadarkan dari realitas yang menindas. Seandainya para intelektual muda itu tidak melacurkan keintelekannya, dan mahasiswa yang sedikit peduli dengan kondisi sosialnya. Semua petani, buruh, nelayan dan massa rakyat tertindas lainnya bersatu, niscaya revolusi akan terjadi di negeri ini.

Gemuruh ombak pantai utara terdengar lebam di telinga. Aku mencoba berjalan menuju kearahnya. Tampak para nelayan yang sedang melaut mencari ikan. Lampu putih kapal dikejauhan bagai mutiara di tengah kegelapan laut. Masih terdengar suara jangkrik dan burung hantu yang tetap setia memainkan lembaran-lembaran partitur symphoni alam. Bertempo andante. Terasa tenang. Aku menikmati.




Cirebon, September 2006

Dini Benci Sekolah

Inilah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Dini. Hari kelulusan. Setelah dua belas tahun lamanya ia lewati penuh kebosanan di sebuah tempat yang namanya sekolah. Sudah lama ia ingin keluar dari tempat itu yang membuatnya merasa seperti terpenjara. Terkekang kebebasannya untuk menikmati dunia yang sebenarnya. Melihat realitas dengan jelas tanpa terkurung dalam keangkuhan tembok tinggi dan terisolasi oleh kurikulum yang membatasi. Mencoba membongkar kebenaran yang banyak tertutupi oleh sebuah doktrinasi lama dengan wajah baru. Muak!. Semua itu memuakkan. Sekolah membuatnya merasa seperti mesin fotokopi yang harus menggandakan dan menyalin sama dengan aslinya. Semakin banyak dibuat dan diedarkan semakin bagus. Layaknya robot mekanik yang terprogram paten untuk menuruti kemauan si pencipta. Menjalankan semua perintah. Tak akan bergerak bila tidak digerakkan. Semakin menurut semakin dielu. Dan segera orang akan memberikan predikat "pintar" dengan murah layaknya barang yang diobral.


Seandainya Ki Hajar Dewantara masih hidup tentu semua akan tampak lain di mata Dini. Dia memang sangat kagum dengan sosok Bapak Pendidikan Indonesia ini. Dia belajar banyak tentang biografi dan filosofi pemikirannya dari beberapa buku koleksi di perpustakaan pribadi milik kakeknya yang dia baca. Dia ingin sekali bersinggungan langsung, diajar dan menimba ilmu pada sosok Ki Hajar Dewantara yang lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Menikmati bagaimana rasanya bersekolah di Taman Siswa. Namun sayang Tuhan mengha dirkanya di dunia lewat rahim sang ibu di jaman dimana segala sesuatu ditentu kan oleh uang. Akhirnya, ia hanya bisa mendengar cerita tentang kejayaan pendidikan di negeri ini dari mulut sang kakek yang dulu pernah menikmati suasana sekolah di Taman Siswa dan dari buku-buku kusam yang masih tersimpan rapi di rak.


Delapan tahun yang lalu kondisinya sungguh berbeda dengan Dini yang sekarang. Dini kecil selalu senang jika pagi tiba. Waktunya untuk pergi ke sekolah. Segera saja ia mulai hari paginya dengan mandi, berseragam, mempersiapkan perlengkapan sekolah—dan tak lupa dengan kebiasaan kecilnya—berdiri di depan cermin sambil tersenyum manis. Tampak mungil dan menggemaskan.


"Bunda, ada yang kurang?" tanya Dini. Sang ibu hanya tersipu melihat tingkah Dini yang tak henti-hentinya bercermin. Melihat apa yang kurang pada penampilannya pagi ini.


"Sudah cantik sayang. Bunda yakin Sang Matahari pasti tersenyum meli hat Dini dan menyapa, selamat pagi Dini...pagi ini kamu terlihat cantik dan ceria. Lalu bunga-bunga di taman juga tak ingin ketinggalan menyapa langkah mu pergi ke sekolah. Dini cantik...Dini cantik..." begitulah sang ibu selalu meng hibur Dini sebelum dia berangkat ke sekolah. Dini sangat senang dipuji dan ciuman hangat sang ibu menjadi semangat hari-harinya.


Namun semua berjalan jauh dari impian. Dini yang dulu mengira bahwa sekolah akan melatihnya berfikir kritis, guru yang kata bunda adalah teman yang ramah dan selalu membantu memecahkan masalah, sekolah yang kata kakek adalah tempat yang bebas untuk berkreasi, mengasah kemampuan diri serta bebas untuk mengungkapkan pendapat ternyata tidak sepenuhnya benar. Fakta yang dia lihat jauh dari apa yang dikatakan oleh bunda dan kakek. Apakah bunda dan kakek berbohong? Tidak. Tidak mungkin bunda dan kakek berbohong sama Dini. Ataukah sekolah yang berbohong? Ketika diluar sana dia ingin menunjukkan bahwa di tempat inilah akan lahir para tunas-tunas bangsa yang berbudi luhur, bermoral, pintar dan embel-embel kebaikan lainnya, tetapi di dalamnya menyimpan banyak borok yang tertutupi oleh kemegahan gedung yang angkuh berdiri. Ini semua berbeda dengan apa yang pernah diceritakan oleh kakek.


Dulu kakek pernah bercerita bahwa ketika bersekolah di Taman Siswa, sekolah mendidik para murid untuk berani, berkarakter kuat, tidak pengecut, tidak bermental seperti budak, memerdekakan peserta didik dari pikiran yang penuh prasangka dan mengajarkan bagaimana menghidupkan nilai-nilai ideal dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan ayah, dulu ayah pernah memberi nasehat Dini bahwa hakekat pendidikan adalah untuk membebaskan, memanusiakan manusia dari belenggu ketertindasan. Belajar bukan hanya mengkonsumsi ide, tetapi terus-menerus menciptakan ide dan semua orang adalah guru serta setiap tempat adalah sekolah. Itulah hakekat pendidikan yang sebenarnya. Begitulah petuah terakhirnya pada Dini. Apakah semua itu omong kosong?karena pada kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya. Sekolah menjadikan Dini berfikir dogmatis, guru adalah penguasa kelas yang harus selalu digugu dan ditiru, sekolah menghambatnya dalam proses berkreasi, me ngekang kebebasannya untuk menentukan pilihan. Parahnya lagi sekolah membuatnya jauh dari realitas yang sebenarnya.


"Ah, hari senin yang bakal membosankan" gumamnya. "Aku benci upacara bendera. Aku bosan dengan bualan PPKN. Aku malas mendengar omong kosong sejarah yang telah direkayasa oleh penguasa. Aku benci berhitung matematika. Aku ingin membaca koran saja di Perpustakaan. Menikmati karya sastra para pujangga negeri ini sambil sedikit selingan membaca majalah-majalah remaja".


Membaca menjadi kebiasaan semenjak Dini kelas dua SMP. Koran, novel, majalah, komik adalah nutrisi kecerdasan otaknya setiap hari. Kegemarannya membaca tak luput dari dorongan sang ayah yang kini tidak jelas nasibnya. Ayahnya diculik sejak peristiwa Reformasi’98 di negeri ini bergulir. Dini menyimpan dendam yang amat sangat pada para birokrat yang sampai detik ini tak kunjung selesai mengungkap siapa pelaku yang telah menculik ayahnya.


Bagi Dini sang ayah adalah pahlawan. Seorang pujangga yang karyanya lebih mematikan dari AK-47 sehingga membuat penguasa geram ketika membaca karya-karyanya. Akibat semua itu, tak terhitung lagi banyaknya teror dari orang-orang hitam—karena pakaian mereka serba hitam—yang menyerang keluarganya. Mengganggu waktu bermain Dini di taman belakang rumah, membuatnya menangis di malam hari karena ada saja tingkah orang-orang hitam itu. Dini takut.


"Anjing...! mau apalagi bajingan-bajingan itu?" geram ayahnya suatu malam. Di depan jendela kaca rumah sudah tidak jelas lagi rupanya. Pecah berantakan akibat lemparan batu dan botol api yang membuat korden jendela habis terbakar.



"Hey kalian..! Bangsat..! bilang pada pemimpin kalian, langkahku tidak akan berhenti...bajingan!". Orang-orang hitam itu keburu pergi setelah melempari rumah dan meninggalkan surat kaleng tanpa mendengar teriakannya.
Dini yang ketakutan dan menangis tersedu akhirnya kembali merasa tenang ketika sang ibu duduk di sampingnya. Memeluknya erat. Membelai dini penuh kasih sayang. Meyakinkannya untuk tidak kalut.


"Bunda Dini takut" rengek Dini


"Jangan takut sayang, bunda di sini".


"Bunda sampai kapan orang-orang hitam itu akan terus mengganggu kita?"


"Bunda tidak tahu sayang...bunda tidak tahu".


Tak terasa air menetes pelan dari katup matanya yang pucat. Membasahi kedua pipinya. Ia menangis. Di dalam hati ia cuma bisa berdoa; Tuhan lindungilah keluarga kami.


***


Sebentar lagi kelulusan akan diumumkan. Rasa tegang, gembira bercampur aduk menciptakan nuansa rasa yang lain. Teman-teman Dini mulai banyak yang gusar. Ada juga diantaranya yang duduk berkelompok hanya bisa diam, pasrah menerima apapun hasilnya, sambil mulutnya berkomat-kamit dan matanya yang sebentar-bentar berkedip, memejam, membuka, mirip seorang hamba Tuhan yang sedang melakukan pengakuan dosa di malam menjelang Paskah. Lalu ada diantaranya geng berjilbab yang saling berpegang tangan dengan erat. Khusyuk membaca Al-Fatehah, Sholawat nabi dan tak henti-hentinya bertasbih memohon pada Sang Khalik agar dikabulkan doanya supaya bisa lulus.


Di luar tak kalah serunya, aksi corat-coret baju sudah dimulai. Dini heran kenapa masih saja budaya seperti ini dilestarikan, dari jamannya si Boy, Lupus, sampai jaman anak MTV "gue banget" sekarang ini. Setelah itu arak-arakkan liar keliling kota dengan motor pun dilakukan. Mereka tenggelam dalam kesena ngan yang datang sekali seumur hidup. Mereka tidak peduli apakah mereka akan lulus atau tidak. Itu urusan belakang. Sungguh naif.


"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Galang tiba-tiba. Mengagetkan Dini yang sedari tadi hanya diam di Perpustakaan membaca novel Matu Mona; Pacar Merah Indonesia.


"Mmm...kelihatannya menarik. Coba aku lihat" pinta Galang sambil melihat sampul depan dan membaca judulnya. "Novel perlawanan lagi ya?" tanyanya bersahaja.


Dini hanya tersenyum menanggapi pertanyaan itu. Galang adalah teman Dini yang paling tahu kondisi Dini. Dia adalah teman diskusi yang sedikit mampu mengimbangi Dini dan tak pernah bosan ketika mendengar Dini berargumen. Dini sangat suka berdiskusi dengan Galang. Begitu pun sebaliknya.


"Kamu kenapa ke sini? Bukannya bergabung sama teman-teman yang lain?" balik Dini bertanya.


"Mau diskusi sama si perempuan api saja. Lebih menantang, lebih berbobot dan lebih menyenangkan. Kalau aku bergabung sama mereka kesannya biasa saja. Ini adalah momen terakhirku untuk ketemu dan berdiskusi sama kamu. Karena aku tidak yakin setelah lulus nanti apakah aku bisa bertemu lagi sama perempuan liar kayak kamu. Pasti sebentar lagi kamu akan kembali ke semesta pemikiranmu, mencari tempat dimana kamu akan merasa nyaman disana kelak. Dan aku akan menjadi puing berdebu yang bakal hilang dari memori ingatanmu."


"Anjing...! baru kali ini aku mendengar kamu ngomong seperti itu. Nggak biasanya" tanya Dini heran.


"Ya kamulah emang siapa lagi? Gara-gara kamu Din aku bisa seperti ini. Benar-benar diriku yang sebenarnya". Mereka kemudian tertawa bersama. Ini menjadi sebuah kenangan yang kelak bakal terlupakan oleh masing-masing.


"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi"


"Yang mana?"


"Di awal tadi ?!"


"Ooo...aku tidak tahu, Lang. Cuma satu yang pasti, aku tidak akan kuliah. Aku benci sekolah".


Galang benar-benar terhanyut dalam pesona Dini yang mempunyai karakter begitu kuat. Sosok perempuan remaja yang sangat tegar. Ia menatapnya dalam-dalam. Mencoba mengarungi sungai deras yang ada dalam diri perempuan di depannya. Galang kagum dengan sorot matanya yang penuh perlawanan, namun dibalik itu semua tetap memancarkan keramahan bagi siapa saja yang datang dan menimbulkan kesejukan di dasar retina yang paling dalam. Wajah cantiknya penuh kelembutan, tetapi tertutupi oleh luka kemarahan yang samar terlihat dan sangat sulit dihilangkan. Sebuah luka dari keadaan yang menyakitkan. Bibirnya seperti anggur merah yang dipanen pada musim panas. Menggoda setiap orang untuk mencicipinya. Galang semakin termabukkan. Ia jatuh cinta.


Dini merasa aneh dengan tatapan Galang. Dia merasa gusar. Benar-benar tidak seperti biasanya Galang hari ini.


"Hoi...kamu kenapa?"


"Ah..!" tiba-tiba Galang jadi salah tingkah. Lamunannya buyar. "Tidak. Tidak ada apa-apa kok.

Cuma...kamu kelihatan cantik dari biasanya" jawab Galang sambil tersipu malu.


"Kamu baru sadar?! udah dari sananya monyet!" jawab Dini sekenanya.


"Eh, kelihatannya mau diumumkan, ke sana yuk" ajak Galang.


"Yuk.."


Mereka berjalan meninggalkan ruang perpustakaan. Bergabung dengan te man-teman yang lain yang menunggu pengumuman kelulusan yang sebentar lagi diumumkan. Mereka berdua dinyatakan lulus.


***


Malam ini Dini merasa bahagia. Ia telah bebas dari sekolah. Dia tidak per lu lagi bangun lebih awal, bergegas mandi, berseragam, mempersiapkan perleng kapan sekolah – dan melakukan kebiasaan kecilnya—berdiri di depan cermin sambil tersenyum manis. Matahari pagi tidak akan lagi menyapanya dan bunga-bunga di taman hanya tertunduk diam sesekali disapu oleh angin. Kini semua itu sudah mati. Dini mulai membuka catatan hariannya dan mulai menulis.


Ayah...Bunda...apa kabar kalian di sana? Pasti tentunya sangat bahagia di Taman Firdaus berteman peri-peri dan malaikat kecil yang senantiasa menemani dan menghibur kalian. Ada kabar bahagia yang ingin Dini sampaikan. Dini telah lulus sekolah. Dini telah keluar dari penjara yang namanya sekolah. Barangkali setelah ini Dini mau menyusul kak Dewa dan belajar bersama para buruh di sana. Belajar dengan realitas yang sebenarnya. Seperti apa yang ayah ajarkan selama ini.


"Percuma saja kamu pintar sedang banyak diantaramu yang bodoh karena tidak bisa sekolah. Percuma saja kamu kenyang sedang banyak diantaramu yang kelaparan karena beras semakin mahal. Semua akan sia-sia jika kamu hanya diam melihat kemiskinan. Hidupmu akan bermakna jika kamu memberikan makna untuk orang lain. Berpeganglah pada kebenaran dan nilai-nilai keadilan. Belajarlah pada semesta agar kau semakin dewasa."


Nasehat itu akan selalu aku ingat....
Aku sayang kalian...
Selamat malam...



Kediri, Mei 2007