Sudah tiga puluh lima tahun lebih rumah itu masih terlihat sama. Sebuah rumah yang sangat sederhana yang – bisa dikatakan mirip gubuk reot – kokohnya luar biasa. Padahal pondasi rumah itu hanya tersusun dari batu bata berperekat tanah liat bukan semen. Dinding rumah sama sekali tidak bertembok seperti rumah-rumah gedung milik tetangga di samping kiri-kanan. Melainkan terbuat dari gedhek. Tak sedikit pun terlihat adanya rombakan total dari rumah itu, hanya saja bagian-bagian kecil yang selalu dibenahi, seperti genteng yang telah aus dimakan cuaca, dan jika musim penghujan tiba seisi rumah disibukkan mencari bak atau ember penadah air hujan karena genteng yang bocor di sana-sini. Bukannya tidak mau atau tidak ada niat untuk merombaknya, tetapi apa daya jika uang tidak ada. Bisa makan sehari-hari dan menyekolahkan anak-anaknya saja sudah bersyukur. Cuma setahun sekali diwaktu lebaran tiba rumah itu tampak cerah berbinar dan tersenyum ramah pada siapa saja yang datang bersilaturrahmi. Sapuan putih kapur gamping membuat rumah itu tampak muda lagi.
Wanita itu akrab disapa Mak Mar dan suaminya yang renta bernama Pak Kasim. Mereka bukan petani, bukan pula buruh tani. Pekerjaannya cuma membuat emping dan pulii. Dari situlah ia mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Mereka tidak punya sawah untuk digarap. Hanya kebun warisan belakang rumah yang tidak begitu luas, tetapi cukup bermanfaat untuk menambah penghasilan, yang ditanami pohon pisang, ketela, bentol, melinjo, pohon kelapa dan beberapa pepohonan penghasil kayu. Selain itu, mereka juga mempunyai ternak yang dipelihara. Dulu ternak yang dimiliki tidak sekedar ayam dan kambing, melainkan juga sapi. Tetapi, semua sapi-sapi itu telah habis terjual untuk biaya kelahiran anaknya yang ke enam dan ke tujuh. Sungguh betapa bahagianya mak Mar waktu itu ketika ia melahirkan anak terakhirnya dengan selamat, dan segera sang suami menggendong si jabang bayi yang baru lahir itu, lalu mengumandangkan adzan di sampingnya. Kini, ternak yang tersisa hanya lah beberapa ekor kambing dan ayam kampung serta burung dara yang masih dipelihara.
Di kebun belakang rumah itulah, di bawah pohon wadang yang rimbun, ia selalu tersenyum melihat anaknya bermain dengan penuh keceriaan. Tenggelam dalam riuh tawa jenaka yang mereka mengerti sendiri sambil membuat bola-bola kecil dari kulit ari daun wadang yang masih muda. Seperti yang ia ajarkan pada mereka. Hanya hiburan seperti itu yang bisa ia berikan sewaktu mereka masih kecil dan mengajari mereka beberapa permainan tradisional warisan turun-temurun dari nenek moyang dan orang tuanya dulu ketika memomongnya. Dengan jemari kecilnya yang lentik anaknya tangkas mengelupas dan memilin kulit ari daun wadang tersebut. Membuatnya bulat menjadi bola. Butuh ketelatenan dan kesabaran yang penuh untuk menghasilkan bola-bola kulit ari daun yang besar.
Di setiap sore menjelang senja dimana langit berwarna jingga cerah di ufuk barat dan sebentar lagi maghrib tiba, ia selalu mengajari anak-anaknya bersenandung kidung pujian sholawat dan salam pada sang Rasul serta doa-doa pendek yang diucapkan pada waktu sholat. Kelak ia berharap semua anaknya akan menjadi seorang anak yang saleh dan selalu berbakti kepada orang tua. Sebuah doa dan harapan yang umum terucap oleh mereka para orang tua manapun kepada sang anak. Itulah sepenggal kenangan tentang masa kecil anak-anaknya yang tetap teringat dan tersimpan rapi dibalik usia yang semakin tua dilahap waktu.
Ketiga anak lelakinya yang dewasa sudah lama pergi merantau ke Sumatra. Mereka telah berkeluarga dan punya anak. Hampir dua tahun ini mereka tidak berkirim kabar lewat surat seperti dulu. Tidak juga mengirim uang lewat wesel tiap enam bulan sekali. Mungkin mereka kebutuhannya juga banyak, batin mak Mar dalam hati, tetapi ia cukup bahagia dan bersyukur anaknya sudah jadi orang dan hidup berkecukupan. Semoga saja lebaran tahun ini mereka bisa pulang atau sekedar berkirim surat. Rinduku sudah tak tertahan, harap mak Mar dalam lamunannya.
Dalam hidup yang sederhana – bahkan bisa dibilang serba kekurangan itu – ia justru merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Terbebas dari keinginan-keinginan materi duniawi yang menimbulkan penderitaan hati. Damai dan tenteram. Ia rasakan karunia sang Khalik yang begitu besar. Rahmat yang terus-menerus melimpah. Membuatnya selalu bersujud syukur atas segala yang diberikan-Nya.
Namun, akhir-akhir ini batinnya merasa tidak tenang. Selalu gundah menggulana. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati dan mengganggu pikirannya. Membuatnya tampak menggelisah penuh keresahan. Benar-benar pemandangan yang tidak seperti biasa. Pak Kasim yang melihat kondisi ini bertanya penuh heran dalam hati, ada apa kiranya yang sedang dialami oleh istrinya itu. Selama mereka menikah tak pernah ia terlihat seperti itu sebelumnya. Kalau pun ada masalah pasti ia menceritakan kepadaku. Dan alhamdulillah selalu saja ada jalan keluar walaupun tidak semua masalah bisa langsung tuntas teratasi.
Tapi...tapi kali ini benar-benar lain. Aku sungguh tak mengerti. Tak sedikitpun dia mau bilang. Ada apa ini? Apa yang sedang dipikirkannya? Apakah gara-gara hutang yang belum terbayar sama si Kardi keponakannya itu? Ah, aku kira tidak. Utang itu tak seberapa dan si Kardi pun masih longgar. Apa karena surat peringatan dari sekolah si Abdul yang minta segera membayar uang SPP yang sudah nunggak empat bulan ini? Mmm...bukan, itu tidak mungkin karena sudah dicicil dua bulan dan aku yakin pihak sekolah pasti memberi toleransi. Lantas apa kalau begitu? Pak Kasim terus memutar otak untuk mencari sebab kenapa istrinya seperti itu. Atau jangan-jangan...
Tentang lamaran itu!
Ya, pasti tentang lamaran dari Pak Kaji tempo lalu. Antara menerima atau menolak. Kalau menerima berarti siap pula mendengar rasan-rasan tetangga yang beraneka ragam. Kalaupun menolak, apa daya mereka berdua telah terikat cinta. Ia sepenuhnya sadar kalau anaknya tak pantas menikah dengan anak pak Kaji. Perbedaan kelas itulah alasan utamanya. Sebagaimana dulu banyak ia dengar gunjingan saudara-saudara pak Kaji yang menghasut supaya anaknya, si Wahyu, jangan dekat-dekat atau menjalin asmara dengan Ning anak gadis si Kasim, alih-alih mereka menikah. Dengan berbagai dalih, termasuk menjual dalih agama, saudara pak Kaji itu gencar menghasutnya supaya lamaran itu tidak terjadi.
“Kalau sampai anakmu kelak menikah dengan anak gadis si Kasim, mau makan apa mereka?” ujar kakak perempuan pak Kaji sambil mencemooh berharap lamaran itu bakal dibatalkan.
“Memang, seperti yang tertulis dalam hadist,” lanjutnya, “Jika seorang lelaki telah dirasa mampu sekiranya ia segera menikah, tetapi jangan asal. Semua ada pertimbangan. Ia harus cantik, tidak sekadar paras, tapi juga hati. Begitu juga dengan agamanya. Dan yang terakhir, cukup ekonominya” sambil menekan pada kata-kata terakhir.
Ah, apa benar hal ini yang membuatnya risau? Pak Kasim masih terus saja berta nya dalam hati. Berusaha menduga-duga.
“Mak, apa yang sedang kamu pikir?” tanya pak Kasim suatu malam ketika mereka membuat puli. “Akhir-akhir ini selain asmamu kambuh, kamu juga kelihatan murung. Ada apa?”
“Murung gimana to, pak?” balas mak Mar sambil mencetak puli di meja.
“Ya, murung. Keliatannya ada yang kamu pikir. Coba cerita, jangan ditutup-tutupi.”
“Tentang lamaran pak Kaji kemaren.” Jawab mak Mar tenang. Ternyata memang benar tebakanku, gumam pak Kasim. Selama ini ia dibuat resah gara-gara lamaran itu.
“Tidak salah kalau begitu. Aku tahu kamu pasti memikirkan lamaran itu. Ya, memang sepantasnya kalau kita menolak lamaran pak Kaji. Sebab kita tahu kondisi kita seperti apa dan anak kita memang tidak pantas kalau harus menikah dengan anak pak Kaji. Kamu juga tahu bagaimana saudara-saudara pak Kaji itu ngrasani kita. Besok kalau pak Kaji ke sini, kita ngomong baik-baik dan memutuskan untuk menolak lamaran itu. Mungkin ini yang terbaik daripada nantinya terus-terusan mendengar gunjingan mereka. Malah menambah dosa. Sekarang kamu tidak usah mikir masalah itu. Mendingan kamu jaga kesehatanmu. Kurangi beban pikiran. Pasti asmamu kambuh gara-gara memikirkan hal ini.” ungkap pak Kasim penuh perhatian.
“Sampeyan ini ngomong apa?!” tanya mak Mar penuh heran, “Kalau kita menolak lamaran itu justru semakin menambah beban pikiranku.” Pak Kasim terdiam sambil melongo. Mencoba menelaah ucapan istrinya yang sungguh tak disangka.
”Sampeyan jangan memperumit masalah” lanjut sang istri
“Lho, memperumit gimana?”
“Ya, seandainya menolak lamaran itu? Aku kira sebaiknya kita terima lamaran pak Kaji. Jangan cuma gara-gara masalah kita ini miskin, terus kita merasa anak kita tidak pantas menikah dengan anak pak Kaji atau gara-gara tidak kuat mendengar gunjingan saudara-saudara pak Kaji atau tetangga sekitar, lantas kita menolak lamaran itu. Biarkan saja mereka mau ngomong apa. Kalau kita tolak, sama saja kita melawan kodrat.”
Pak kasim masih terdiam memahami maksud istrinya. “Kita harus bijak, pak, me nyikapi hal ini. Mereka itu saling mencintai. Kalau kita memisahkan mereka sama saja kita ini pembunuh yang tak punya hati nurani. Yang aku lihat dari nak Wahyu itu bukan karena dia putra pak Kaji atau anak orang berada, tapi karena dia berilmu dan mandiri. Taat agamanya, baik budi pekertinya, dan bekerja keras. Jangan melihat seseorang dari status atau kekayaan, tapi kita lihat dia sebagai manusia utuh. Rejeki, itu gusti Allah yang ngatur. Asal kita tetap berusaha dan berdoa.”
Udara di luar terasa dingin walau malam belum beranjak larut. Mereka berdua masih sibuk membuat puli. Si Siti, Abdul, dan Dewi belum pulang dari ngaji. Mungkin mereka tidur di pondok seperti biasa dan pulang sehabis subuh.
“Rumah ini semakin sempit ya, pak...dan kita belum mampu merombaknya,” sambung mak Mar dengan suara pelan sambil terisak, “Sudah lama aku bermimpi rumah ini dibongkar. Diganti bagian-bagiannya yang telah lapuk dan dibuat agak lebar. Ditambah satu atau dua kamar lagi. Inilah keinginanku dari dulu. Biar nanti kalau kakaknya Ning pulang dari Sumatra dengan istrinya bisa nginap di sini dan menyaksikan akad nikah si Ning. Sebenarnya aku ingin besok ijab kabulnya di rumah kita saja jangan di rumah pak Kaji karena kita kan dari pihak mempelai wanita. Tapi, aku rasa itu tidak mungkin, rumah kita terlalu sempit. Lagi pula, pak Kaji kemaren minta kalau acara pernikahan ini berlangsung di rumahnya saja.”
Kini, pak Kasim tahu apa yang menjadi pikiran istrinya selama ini. Dia pun hanya bisa terdiam. Menangis dalam hati karena tak mampu mewujudkan mimpi istrinya. Dia tak berdaya untuk hal itu.
Mak Mar masih saja tenggelam dalam pikirannya. Hatinya bercampur aduk antara sedih dan bahagia. Namun, semua itu tetap ia syukuri. Bulan depan pernikahan anaknya berlangsung.
i Kerupuk yang terbuat dari beras atau nasi sisa yang menjadi karak.
No comments:
Post a Comment