I
Rokok yang tinggal sebatang di atas meja itupun akhirnya kau sulut dengan penuh ketenangan. Sungguh luar biasa nikmat kau rasa ketika hisapan pertama memasuki seluruh rongga tubuhmu. Parumu mengembang sedikit berat. Menyerap dalam aliran darah hingga jantungmu merasakan debaran yang luar biasa. Berpacu. Berdetak dengan kencang. Sampai akhirnya asap yang pertama itu keluar lagi dengan bobot yang tak sebanyak ketika masuk, sebagian tertinggal di dalam. Menetap. Berkumpul. Menyebar entah kemana.
Ah,semoga bisa terlupakan bersama hilangnya asap rokok itu.
Tetapi ternyata tidak, satu persatu hal itu masih tertinggal dalam memori otakmu yang sekian hari menjejali sampai otakmu mati separo.
Tidak semua kenyataan yang kau lihat itu ternyata benar adanya. Begitulah kehidupan. Kau hanya tinggal memainkan peranmu. Ketika tiba saatnya episode akhir dalam sandiwara ini, kau tiada guna lagi. Jangan harap kau akan selalu jadi pemenang atau tokoh moderat. Bisa-bisa kaulah yang akan selalu mengalami kekalahan atau kalau tidak kaulah sebenarnya yang ternyata menjadi pecundang atau tokoh licik yang cerdik. Siapa tahu?
Jiwa muda, semangat muda, gairah muda tentang pemberontakan itulah yang terus-menerus mengganggu pikiranmu. Sebuah kisah yang tak mudah memang. Tapi kau tetap harus berkisah. Menyelami kisah. Menjalani kisahmu itu. Karena kau sang juru kisah.
II
Kawanku, Rudi Marsal Pires, yang selalu ku kasihi...
Aku tahu kamu marah sebelum membaca tulisan ini. Kamu lebih senang kehadiranku, bukan selembar tulisan dan potret masa lalu. Aku minta kamu juga mengerti keadaanku di sini, aku berjanji pasti akan kembali. Kau masih ingat, suatu hari aku dari Dili pergi ke Lospalos hanya dengan modal satu dollar Amerika, di bawah standar kehidupan orang miskin. Aku menahan lapar di tengah jalan, tersesat di jalan dua arah menunggu bus di kota Baucau ditemani sebatang rokok, tetapi aku selalu menepati janji. Anggaplah aku ketinggalan kereta dan sedang berjalan kaki pulang ke kampung halaman, di tengah jalan aku menemukan banyak kehidupan yang sangat beragam warnanya. Lalu kutulis dalam sebuah cerita perjalanan seorang pengembara mencari cinta, perdamaian, dan keadilan.
Sekarang ini tidak seperti dulu lagi, kata orang dunia sudah berubah, aku tertawa sendiri mendengar itu. Dunia sebenarnya tidak berubah, yang berubah adalah manusia yang menghancurkan dunia. Waktu kita masih bersama dalam situasi politik yang hampir mencengkram leher dan urat nadi kita, kita hampir mati dalam gelombang laut musim barat. Aku pikir mungkin pak polisi dan tentara melihat kita berdua sebagai menu makanan yang tidak mengundang selera makan mereka sehingga kita diberi kesempatan untuk hidup, dan bercerita kisah yang hampir hilang dari ingatan kita.
Aku masih ingat betul, kamu belajar gitar dari aku, sementara aku belajar mencintai perempuan dan makan sehat darimu. Kadang-kadang kamu mengajakku makan malam bersamamu di rumah dinas berwarna putih seperti kulitmu. Makanan yang sangat enak dan lezat buatan ibumu. Aku suka sekali dengan sambal jeruk nipis. Ibumu melihat ku seperti anaknya sendiri. Almarhum bapakmu seorang pegawai, sedangkan bapakku seorang polisi yang digaji rendah. Meski begitu, aku tetap bangga dan kagum terhadap profesinya.
Kita pernah berjanji untuk katakan ‘tidak’ pada segala jenis merek rokok yang menghancurkan hidup kita, namun itu hanya omong kosong. Mungkin karena darah kita yang masih segar, atau barangkali kita seperti anak kecil yang suka main kotor dan makan tanah. Itulah proses kehidupan, bagaimana manusia ingin mandi kalau dia sendiri belum kotor.
Kita pernah bermain mobil-mobilan di bawah pohon beringin besar dekat rumahku. Kamu memiliki mobil plastik koleksi terbaru. Orangtuamu sangat memperhatikanmu dalam hal mainan. Mereka memanjakanmu sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Sementara aku bermain dengan mobil buatanku sendiri. Bahan-bahannya dari sepotong kayu kering dan kaleng bekas dengan paku berjumlah delapan belas. Kita bermain bersama adik-adik membuat jalan kecil. Mengangkut tanah dan batu manjadi benteng pertahanan kita, seperti kota Berlin kecil dengan desain arsitek amburadul.
Aku juga masih ingat ketika mabuk Colombus dari orang-orang Buton sebagai tanda perdamaian antara aku dengan istri pak Samsudin yang mukanya penuh dengan jerawat. Hanya gara-gara aku meminta istrinya untuk menghidupkan tape Polytron yang tidak terawat itu untuk menghiburku di pagi hari yang buta. Suaminya melaporkan kejadian itu ke kantor polisi dengan alasan aku mencoba merayu istrinya yang sudah dikaruniai dua anak. Gila saja! Ini tidak adil bagiku karena aku tidak memiliki rencana untuk melakukan hal semacam itu. Sampai akhirnya pak polisi Masu’d dari Bima bersama Justino dari Moru (Parlamento) dengan motor RX-Kingnya mencari aku sampai di SMP Lautem. Waktu itu aku sudah tahu kedatangan polisi, aku berusaha menghindarinya. Di pagi yang buta aku berlari sampai ke kampung Liarava. Sembunyi di asrama anak Soikili dan Iraonu. Kami makan jagung rebus dan ubi kayu. Kami bercanda tawa. Bercerita tentang reputasiku yang jelek di masyarakat.
Ah, betapa hebatnya pengalaman remaja dulu. Aku sungguh tak bisa melupakannya. Sungguh.
Kawanku, Rudi Marsal Pires, yang selalu kurindukan...
Aku ingat dengan jelas bahwa malam itu udara begitu dingin, begitu pekat gelap yang menyelimuti. Iringan suara jangkrik seperti paduan suara di Opera House di Sydney menemani langkahku menembus malam menuju Lautem. Langkahku terhenti ketika tiba-tiba ada bisikan datang dari pasar gelap itu.
“Itu mungkin Robin, tapi kenapa dia tidak pakai baju? Coba kau panggil, Karlito”, Ujar pak Samada.
Karlito mulai memanggilku, “Robin, darimana kamu?”. Aku sedikit takut mendengar suara itu. Aku jawab, “Aku dari kampung Liarava. Apakah kalian bersama polisi?”
“O, tidak, kami bersama pak Samada, Rudi, dan Germano. Pak Samada memanggilmu, Robin. Dia dari tadi cari kamu”. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku ke pasar gelap itu. Disitu telah menunggu kau, pak Samadi, dan Germano. Kulihat wajahmu begitu gusar. Dan aku sendiri mungkin terlihat pasi. Kita pun beranjak ke rumah orang Buton itu untuk berdamai. Betapa girangnya aku sesampainya disana. Kita langsung disuruh makan. Aku begitu menikmati sekali. Ada ikan merah besar, bir ABC 5 kaleng, dan 2 botol Colombus. Sungguh, sebuah tanda perdamaian yang sangat menyenangkan.
Alkohol mulai mengotrol tubuhku. Aku merasa darahku tidak berwarna merah lagi. Bola mataku seperti Bob Marley menghisap ganja. Aku mulai ngomong dengan suara keras dan tertawa sendiri seperti orang gila dalam lagu Iwan Fals. Kita pulang dari rumah orang Buton itu. Kau memapahku karena tubuhku mulai melayang ringan. Aku berjalan sempoyongan. Tentu kau ingat, ketika kita sampai di depan kantor polisi aku mulai berteriak dengan lantang.
“Hei, Justino, kita punya masalah belum selesai, selama tanganku belum kena mukamu, kamu ingat itu! Kamu bisa lapor ke komandanmu, aku tidak takut sama kalian semua. Selamat tidur”, setelah itu kita pergi. Aku mabuk berat malam itu.
III
Sebentar lagi subuh. Dan kau tetap saja terjaga. Pagi ini tak begitu dingin. Kau mulai beranjak dari dudukmu sedari tadi. Saatnya membuat kopi lagi. Kau melangkah tenang menuju dapur. Disana masih ada sisa air panas dalam termos, juga sebungkus kopi racikan ibu. Tentu saja semua orang tahu, bahwa itu kopi kesukaannmu. Sering kalinya kau ceritakan bagaimana kehebatan ibumu dalam meracik kopi. Memang dalam hal rasa dan selera kau cukup angkuh.
Barangkali tanggung rasanya bila kau tidur pagi ini. Pikiranmu masih bergejolak.
Kau renggangkan tubuhmu sejenak. Kau tarik nafas. Dalam. Lalu kau hembuskan dengan perlahan. Otakmu kembali segar. Segera kau buka sebungkus rokok lagi. Kau ambil sebatang. Kau sulut.
Kau harus melanjutkannya. Tugasmu belum selesai.
IV
O, Rudy kawanku, sahabatku, yang tak akan kulupa dan tak pernah kulupa
Aku tahu cerita ini sudah basi di telinga orang-orang yang pernah memfitnah kita hidup di zaman itu. Aku tidak menceritakan kepada mereka. Mereka punya pilihan untuk mendengar atau membaca cerita sesuai dengan porsi yang enak, dan itu hak setiap orang. Aku bercerita kepada anak cucu kita, generasi yang akan datang, bayi-bayi yang baru lahir, dan embrio-embrio yang sedang tumbuh dalam rahim pasangan anak muda, yang mungkin besok akan menikah. Aku ingin mereka tahu sebuah kisah yang pernah terjadi di negeri ini, aku bercerita secara jujur apa adanya. Apakah aku salah?
Aku tidak ingin hidup kembali di zaman itu. Aku tidak mau seperti jagoan dalam film India yang memukul orang-orang jadi babak belur. Ketika kita masih remaja, sering menghancurkan tenda-tenda pernikahan. Lorong gelap itu sudah terlalu tua untuk aku berjalan. Aku ingin membuka lembaran baru, seperti kakek tua yang rajin mandi sehari tiga kali di bawah air mancur, mengambil batu kecil digosokan dari ujung kaki sampai rambut. Berlama-lama bermain bersama air. Mulai menjadwalkan jadwal menenggok tetangga sebelah, bangun lebih awal lalu membuat kopi. Mengantar anakku ke sekolah, membaca sebuah novel, mengajar bahasa kepiting kepada anakku, mendengar musik Mozart klasik. Kehidupan yang damai bagi aku untuk belajar. Ah, aku merasa tua sekarang.
Kau tahu, sekarang aku mulai rajin berdoa. Hal ini pun aku pelajari dari kamu ketika dulu kita berada dalam kondisi yang terjepit. Waktu kita pertama kali tinggal satu rumah untuk bersekolah di Lospalos. Malam itu, kita menyalakan dua lilin besar, lalu berdoa Bapa Kami dan doa Rosario. Aku melihat kamu sangat serius seolah-olah kamu melihat malaikat datang dari surga atau sedang berkomunikasi dengan Tuhan Yesus. Dalam hatiku, aku tertawa kecil. Kamu benar-benar berubah malam itu, imanmu lebih kuat dari pada aku. Kayaknya kamu cocok jadi seorang katekis atau mungkin besok lusa mau jadi pastor. Aha, dalam hatiku aku tertawa terpingkal. Setelah selesai berdoa, lilin kamu matikan dengan tanganmu. Tidak sampai lima menit, tiba-tiba di luar rumah ada bunyi-bunyi sepatu boat tentara Indonesia. Ada orang sedang berjalan mengelilinggi rumah kita, dan awalnya kita tidak takut. Di dalam rumah sangat gelap. Kita tidak saling melihat satu sama lain, belum ada listrik, rencananya lusa baru kita pasang. Tiba-tiba terdengar lagi di luar, bunyi sepatu semakin lama semakin banyak. Aku sempat berpikir ada apa sebenarnya. Aku berbisik ke telinggamu, mungkin ada intel yang sedang mengikuti langkah kita, dan memang daerah ini banyak intelnya Pak Thomas, pemimpin Alfa di kota itu dibawah komando Kopassus di Laulara.
Dalam gelap itu kita terus berbisik-bisik. Mungkin di antara kita ada yang bekerja sama dengan para pemimpin pemberontak sehingga sampai bau klandestinnya tercium oleh hidung pak Thomas yang lubangnya semakin besar. Aku juga sudah mulai takut, di tanganku ada samurai panjang milikmu. Dalam hatiku mulai berdoa. Makanya sampai sekarang kadang aku berpikir, kita akan mengingat Tuhan pada saat masuk gereja setelah keluar sudah lupa. Kita berdoa kepada Tuhan pada saat kita sedang ada musibah atau dalam ketakutan, kalau keduanya tidak ada maka kita akan melupakan Tuhan seperti dalam cerita ini.
Ah, kawanku Rudi Marsal Pires
Semakin cerita itu aku kenang semakin aku rindu pula kehadiranmu disini. Kini Timor Leste telah merdeka. Namun apakah manusianya juga telah merdeka diri? Banyak nyawa yang terlalu sia-sia melayang. Darah yang terlalu suci tercecer di tanah. Tangisan yang tiada henti yang terlalu sesak jika aku mengenangnya lagi. Semoga kini jauh lebih baik. Tolong kau bawakan aku sepenggal kisah dari kampung kita. Bagaimana rupa disana?
Dan untukmu, telah aku baca email yang kau kirim. Aku senang kau bisa datang ke Melbourne. Kebetulan minggu depan di kafe tempat kerjaku ada opera jalanan. Malam harinya akan ada diskusi tentang komunisme. Sungguh menarik bukan? Diskusi terbuka yang tak akan kau dapat di Indonesia. Aku yakin kau sudah tak sabar ingin segera kemari.
V
Satu kisah telah kau buat walaupun kenyataannya tak banyak orang yang tahu tentang sosok dan segala kisah-kisahmu. Tapi kau cukup bangga mampu berkisah. Sebuah mimpi yang telah lama kau pendam. Menjadi juru kisah.
Diluar langit pagi semburat biru. Cerah sekali. Tiba-tiba kau tersentak. Penerbangan ke Melbourne jam delapan pagi ini! Segera kau bergegas untuk berbenah. Tidak boleh terlambat sampai di bandara. Hatimu terus berdebar. Tak kuat menahan rasa rindu untuk bertemu seorang kawan lama yang telah menantimu di negeri sebrang.
Tugasmu hampir selesai. Kisah ini harus segera disampaikan. Sebuah kisah sederhana. Kisah seorang kawan tentang seorang kawan untuk kawannya. ***
Kampung Inggris, April 2008
No comments:
Post a Comment