Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

06 June 2008

Jazz dan Seorang Kawan yang Menyendiri

Dance me to your beauty with a burning violin

Dance me through the panic 'til I'm gathered safely in
Lift me like an olive branch and be my homeward dove

Dance me to the end of love
Dance me to the end of love
(1)



Sebentar lagi. Ya, pasti tidak lama. Biarlah aku tunggu.

Memang belum lama aku mengenalnya. Baru beberapa pekan ini. Dan aku merasa senang setiap kali berdiskusi dengannya. Banyak hal yang aku pelajari darinya. Kadang kalau kita sudah bosan dengan tema yang berat, obrolan satire mengenai sex pun jadi santapan yang menarik untuk kesegaran otak. Ah, aku kira masing-masing manusia punya imajinasi liar tentang sex. Bahkan, tanpa sekolah pun.

Tak ada yang istimewa dengan Rendez-vous ini. Semua mengalir begitu saja. Sangat sederhana. Awalnya aku mengenal dia dari seorang kawan lamaku. Lalu berlanjut hingga sekarang. Persahabatan baru yang akan terjalin. Harapku. Mungkin.

Dan malam pun baru saja beranjak. Buatku ini saat-saat yang paling menyenangkan untuk menikmati keramaian malam. Melihat tawa-tawa lepas dari jiwa-jiwa yang lelah oleh belenggu rutinitas dan segala penat metropolis. Melihat lalu-lalang sepasang kekasih yang sedang asyik-masyuk bermesraan seperti dalam roman-roman picisan.

Alunan jazz mengalun dari sebuah gramofon yang terletak di sudut kedai ini. Dengan temaram lampu yang tak begitu terang. Sungguh tenang. Aku masih saja duduk berteman secangkir kopi kental pahit dan sebungkus rokok kretek.

Selintas kukenangkan,
“Malam”, sapaku
“Malam juga”
“E-mailmu telah aku terima”
“Oya..”
“Boleh tahu biografi singkatmu?”
“Kan udah aku tulis di email itu?”
“Iya, tapi kamu belum memperkenalkan diri. Jadi aku agak bingung. Walaupun sebenarnya memang bingung”
“Ha..ha.. ha...Salam kenal lagi kalau begitu.”
“Ok.”
“Namaku sudah jelas kan di email itu. Biasanya di panggil Je.”
“Ooo, aku Amo.”
“Mmm, Amo? Unik sekali namamu.”
“Pun dengan namamu”
“Itu nickname ku dan aku lebih nyaman dengan nama itu. Daripada nama pemberian orang tuaku.”
“Pun dengan ku.”
“Ah, kau terlalu mengada. Terlalu menyama.”
“Tidak. Aku tidak mengada dan aku tidak menyama. Sama sekali.”
“Tentu setiap nama punya arti dan makna yang membuat mereka merasa nyaman dengan itu.”
“Ya, dan tentu saja bukan bermaksud mengingkari apa yang telah diberikan oleh orang tua”
“Aku tahu”
“Tulisanmu bagus. Aku suka. Pernah kau kirim ke media?”
“Belum. Aku kurang percaya diri. Masih dalam penjara egosentris.”
“Kok bisa?”
“Banyak penyebabnya. Pernah aku masuk komunitas menulis dulu. Ikut pelatihan-pelatihan, tapi yang aku dapat malah neokolonialisme.”
”Ehm, berat.”
”Penulis senior yang ada di komunitasku itu, tidak mau kalau ada orang yang lebih pintar daripada mereka. Mereka banyak menulis cerita remaja. Sedang aku, aku sudah mulai menulis tentang gender, lintas agama, bahkan pelecehan sex pada laki-laki.”
”Menarik”
”Setelah dua tahun aku baru sadar.”
”Apa?”
”Jangan mudah percaya dengan pelatihan-pelatihan menulis. Bisa jadi itu sampah! Dan sepertinya aku harus banyak belajar dari sosok Edgar Allan Poe. Liar, banal, misterius dan suram di setiap karyanya. Tak jauh beda dengan kisah hidupku.”
”Mmmm”
”Amo...”
”Ya”
”Kalau kamu sendiri bagaimana? Sekarang giliranmu bercerita tentang hidupmu?
”Sebenarnya tidak ada hal yang menarik untuk diceritakan dari perjalanan hidupku. Aku hanya seorang pemuda biasa. Yang mempunyai mimpi menjadi backpacker. Bertualang. Belajar langsung dengan realitas. Berkeliling dunia dan membuat catatan perjalanan. Namun sayang, aku hanya mampu berkeliling nusantara. Itupun belum semua. Tahun depan aku mau ke Timor Leste. Kawan lamaku akan menikah.”
”Menarik sekali, lalu?”
”Aku suka menulis. Tapi selalu gagal. Ditolak oleh media. Belum ada satu pun cerpenku yang dimuat di koran. Ah, kadang aku merasa putus asa, namun tiada guna.”
”Aku rasa tak perlu kau kecewa. Kita bisa buat media sendiri yang kental dengan ruh dan jiwa muda. Liar. Berang. Pemberontak. Ooo...betapa garangnya.”
“Brilian! Sepenuhnya aku sepakat denganmu.”


***

Let me see your beauty when the witnesses are gone
Let me feel you moving like they do in Babylon
Show me slowly what I only know the limits of

Dance me to the end of love
Dance Me to the end of love


Sebentar lagi. Aku yakin itu. Pasti dia muncul. Biarlah aku tunggu.

Entah mengapa, walaupun aku belum lama mengenalnya, aku merasa bahwa aku telah berkawan lama dengannya. Lama sekali. Sangat lama. Aku merasa telah begitu dekat. Bahkan kuanggap sebagai sudaraku sendiri. Aku pun bingung kenapa bisa seperti ini. Mungkin aku memang butuh sudara. Karena aku memang tak punya sudara. Aku terlahir tunggal. Dan orang tuaku? Sudah lama berpulang.

Tak pelak bilamana benar kiranya sabda seorang filsuf; orang yang merdeka itu sendiri, sepi, dan dingin. Entah siapa filsuf itu, yang jelas seorang kawan pernah bilang seperti itu kepadaku. Pada suatu malam di Jogja setelah kami meminum dua liter Lapen bersama. Kalimat bijak itu terlontar begitu saja. Dan sampai sekarang kupahat dengan jelas di jidatku. Sejelas lafadz Kaf Fa Ra yang terukir di jidat Dajjal. Biar mereka tahu, mereka orang-orang yang menyendiri, merenung, berfikir, pun mereka orang-orang yang termarjinalkan; merdekalah kalian sesungguhnya! Hya...

Malam bertambah larut. Dan ini saat-saat yang paling aku sukai. Waktunya memberi penghormatan pada serigala-serigala malam yang kelaparan, yang siap mencari mangsa dan menerkam dengan buas. Berdiri dengan liuk-lekuk tubuh mereka yang eksotis di tiap-tiap sudut kota. Membuat malam semakin marak.

Aku masih tafakur dalam kesendirianku di sini. Cangkir kedua kopi kental pahit kesukaanku baru saja aku pesan. Menyusul sebatang kretek yang aku sulut kemudian.
Selintas kukenangkan lagi,
“Kenapa kau suka dengan Socrates?”
“Dia orang bijak. Sebijak pandangannya terhadap dunia.”
“Tapi dia termajinalkan dan mati mengenaskan.”
“Bukankah itu harga untuk sebuah kemerdekaan. Giordano Bruno, Galileo, Marx, Marsinah, Udin, Wiji Thukul, apakah mereka mati dengan wajar? Apakah mereka mati untuk hal yang konyol?
“Mmmm”
“Merdeka itu mahal. Socrates percaya bahwa manusia ada untuk suatu tujuan, dan bahwa salah dan benar memainkan peranan yang penting dalam mendefinisikan hubungan seseorang dengan lingkungan dan sesamanya. Socrates percaya bahwa kebaikan berasal dari pengetahuan diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah jujur, dan bahwa kejahatan merupakan suatu upaya akibat salah pengarahan yang membebani kondisi seseorang; kenalilah dirimu".
“Telah lama aku tidak berdiskusi sehebat ini.”
“Buat apa kau berdiskusi dengan orang sakit?”
“Hey...siapa bilang kau sakit? Pernahkah itu terlontar dari mulutku?”
“Ah, sudahlah. Maafkan aku Amo. Beginilah aku adanya. Maka dari itu aku lebih suka menyendiri dan takut untuk berkawan. Aku takut menyakiti.”
“Lupakan Je. Sampai kapanpun kau tetap kawanku.”
“Aku rasa ini obrolan terakhir kita. Besok aku akan pergi.”
“Kemana Je?”
“Entah. Namanya juga orang sakit, he..he..”
“Ah, kau pun...”
“Sebelum aku pergi, ada yang ingin aku sampaikan.”
“Apa itu?”
“Ada sebuah gua. Di dalamnnya terdapat manusia yang tidak dapat keluar dari gua tersebut. Mereka sudah berada di sana seumur hidup dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa melihat ke depan saja. Akan tetapi, mereka bisa melihat bayang-bayangan orang di dinding belakang gua. Bayang-bayangan ini disebabkan oleh sebuah api yang berkobar di depan, di lubang masuk ke gua ini dan orang-orang di luar gua yang berjalan berlalu-lalang. Para tawanan bisa melihat bayang-bayangan orang ini dan suara-suara mereka yang menggema di dalam gua. Suatu hari seorang dari mereka bisa keluar. Dia melihat segala sesuatu dan ia menyukainya. Namun, ketika ia kembali ke gua untuk mengajak yang lain keluar, mereka tidak mau dan justru membunuhnya(2). Bagaimana menurutmu?”


***

Dance me to the children who are asking to be born
Dance me through the curtains that our kisses have outworn
Raise a tent of shelter now, though every thread is torn

Dance me to the end of love
Dance me to the end of love


Aku yakin sebentar lagi. Ya, pasti tidak lama. Biarlah aku tunggu.
Sebentar lagi...
Tak akan lama...

Tapi, sampai kapan?
Memang belum lama aku mengenalnya. Baru beberapa pekan ini. Dan aku merasa senang setiap kali berdiskusi dengannya. Entah mengapa, walaupun aku belum lama mengenalnya, aku merasa bahwa aku telah berkawan lama dengannya. Lama sekali. Sangat lama. Aku merasa telah begitu dekat.

Alunan jazz yang mengalun dari gramofon telah berhenti lima belas menit yang lalu. Malam semakin larut. Dan memang, belum sepenuhnya aku mengenalnya. Aku rasa dia telah merdeka. Bebas. Sendiri, sepi, dan dingin.


Dance me to the end of love
Dance me to the end of love
Dance me to the end of love



Pare, 5 Juni 2008


(1) Lirik Lagu Dance Me To The End Of Love dinyanyikan oleh Madeleine Peyroux dalam festival Java Jazz 2007.

(2) Analogi Manusia Gua - Plato.

No comments: