Cerpen Ahmad Ikhwan Susilo
Kali ini kuberanikan untuk menatap mata Mak dalam-dalam. Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya seumur hidupku. Sungguh aku merasa tanpa daya melihatnya. Sampai hari ini aku belum sanggup membuat Mak bahagia. Maafkan aku Mak, aku berjanji suatu saat nanti aku pasti akan membahagiakanmu. Aku menangis dalam hati. Mak pun akhirnya tertidur...
Aku mulai tenang melihat Mak tidur. Paling tidak bebanku berkurang. Dan sudah menjadi kebiasaan Mak kalau dia punya masalah yang tak kunjung ada jalan keluar dia selalu tidur. Mak tak kuat harus berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi kerasnya hidup membuat Mak harus bertahan. Semua harus dihadapi. Semua harus dijalani. Mak terus tegar. Mak selalu sabar. Itu yang aku bangga dari Mak.
Kulangkahkan kakiku pelan keluar rumah. Malam ini dingin luar biasa. Di atas bulan tampak bulat sebulat-bulatnya dengan sinar peraknya yang begitu terang menerangi. Menyenangkan untuk dinikmati. Kusempatkan menengok gubuk tempat tinggal kami. Aku berpikir sejenak, kapan aku bisa membuatkan rumah gedung buat Mak? Rumah yang lebih nyaman untuk dihuni. Tidak bocor saat hujan. Tidak lembab bau lumpur. Tampak bagus dan kokoh. Paling tidak seperti rumah kang Naryo. Memang diantara anak-anak Mak, hanya kang Naryo yang bernasib mujur dan sukses. Hidup di kota dan menjadi pegawai bank. Punya istri cantik dan anak yang sehat pula.
Selama ini kepada kang Naryolah Mak selalu meminta bantuan. Apalagi kalau Mak sudah tidak punya uang atau sedang jatuh tempo bayar hutang ke bank plecit. Sedang waktu panen masih lama dan sisa panen sudah habis terjual untuk biaya tanam dan makan sehari-hari, juga bayar hutang sana-sini. Seperti saat ini. Mulanya kang Naryo tak berkeberatan. Namun, lama-kelamaan ada nada kurang menyenangkan dari kang Naryo. Walaupun Mak tak memintanya terus-menerus, hanya tempo-tempo tertentu saja saat Mak sedang terdesak, itupun bisa di hitung dengan jari. Mak memaklumi sikap kang Naryo. Dia sudah berkeluarga dan hidup di kota. Tentu kebutuhannya banyak. Mak tak mau merepotkan. Mak kini jarang meminta bantuannya lagi. Dan aku, aku semakin malu kepada Mak. Aku merasa sungguh tak berguna.
“Kamu tak perlu berkecil hati, Nang” kata Mak suatu hari padaku, “Mak yakin kelak kau pasti menjadi orang yang sukses. Bahkan lebih sukses dari kangmasmu semua”
Aku paling senang kalau Mak sudah berkata seperti ini. Di tengah keterpurukan kami, Mak tak lelahnya memberi semangat dan mendoakanku.
“Almarhum bapakmu berpesan kepada Mak agar kita terus berusaha dan tak lupa berdoa. Kita memang miskin, tapi jangan sampai miskin iman dan miskin hati.”
Aku hanya bisa diam mendengar nasehat Mak. “Lanang pasti menjadi orang sukses, Mak. Besok kalau Lanang sudah sukses, Mak ikut Lanang saja. Lanang yang akan merawat Mak. Kalau perlu Lanang tidak akan menikah. Lanang hanya ingin membahagiakan Mak. Lanang tidak keberatan.”
“Husshh...jangan bilang seperti itu! Nanti kau bisa termakan omonganmu sendiri. Mak ingin anak-anak Mak berkeluarga, beranak-pinak agar lengkap kebahagiaan Mak.”
“Tapi Lanang takut kelak seperti kang Naryo. Tak peduli sama penderitaan Mak. Membiarkan Mak terlunta-lunta. Tak pernah tahu kalau kita di sini kesusahan!”
“Sifat orang itu berbeda-beda. Mak yakin kelak kau tidak akan seperti kangmasmu. Semua kembali ke dirimu sendiri. Kalaupun besok tak ada yang peduli sama Mak, Mak harus ikhlas menerimanya” Mak menunduk. Pundaknya bergoyah. Kudengar isaknya. Mak menangis.
“Jangan bilang seperti itu, Mak! Terkutuklah semua anak Mak kalau sampai menelantarkan Mak!” tanpa kusadari dengan perlahan air mataku menetes.
***
Rasanya cukup sudah aku bersabar dengan keadaan. Kesabaran kami ternyata tak membuat keadaan menjadi lebih baik. Sebaliknya, hidup terasa semakin susah saja. Aku ingin hidup kami lebih baik. Aku tak mau lagi melihat Mak sedih. Aku ingin merantau. Aku ingin menjadi TKI. Tak butuh waktu yang lama buatku untuk meyakinkan Mak. Hingga Mak akhirnya mengijinkan aku untuk menjual sebagian sawah yang terletak di sebelah selatan dukuh kami. Lagi pula sawah ini letaknya agak menjorok ke tengah. Tak sayang seandainya dijual buat modal kerja.
“Mak doakan semoga kau cepat berangkat. Kelak bila kau berhasil, jangan lupa kau bantu kangmasmu Gono dan Jiwo yang masih kesusahan. Kau kasih mereka modal usaha. Biar sukses seperti Naryo”
“Tidak, Mak. Lanang kerja untuk Mak saja. Itu yang paling utama. Bayar hutang-hutang kita, membuat rumah gedung yang lebih bagus dari punyanya kang Naryo, beli sawah, beli motor, dan ongkos naik haji Mak”
Mak menatapku nanar. Kulihat sejenak. Ada rasa haru dan bangga yang terpancar di matanya. Mak hanya tersenyum sambil berlalu. Ada rasa senang yang tak bisa kuungkap ketika melihat Mak tersenyum bangga padaku. Kuperoleh rasa percaya diriku kembali. Aku semakin yakin, aku mampu membahagiakan Mak.
Tiap malam aku selalu berangan tentang segala mimpi-mimpi buat Mak. Kerja keras, gaji besar, tiap bulan bisa berkirim uang ke Mak, membuat rumah yang berlantai keramik, Mak tak perlu lagi berhutang untuk biaya tanam, Mak bisa belanja setiap hari ke pasar, dan yang utama aku ingin menemani Mak naik haji. Mak pasti senang. Tak ada lagi kesedihan.
Namun, terpaksa aku harus mengubur semua mimpi itu ketika aku tahu ternyata aku tertipu calo. Semua modal ludes tak bersisa. Aku tak jadi berangkat. Anganku untuk menjadi TKI gagal. Semua mimpiku untuk Mak hilang. Aku menjadi bulan-bulanan saudaraku.
“Tolol! Makanya jangan gegabah!”
“Kok bisa ketipu? Dasar goblok”
“Coba dari dulu kau dengarkan aku. Tak akan begini jadinya”
“Sawah Mak harus kau ganti. Kau harus tanggung jawab!”
“Cengoh...!“
Aku tak kuasa mendengar olok-olokan itu. Mereka yang dulu berharap banyak dariku, sudah berani melontarkan permintaannya ini-itu bahkan sebelum aku berangkat, bermuka manis ketika mendengar aku akan kerja ke luar negeri, kini mencampakkan kegagalanku. Terus saja menyalahkan. Aku hanya diam mendengar dan melihat perlakuan mereka.
Kepada Mak aku tak bisa berbuat apa-apa. Berkali-kali aku minta maaf kepada Mak. Mak hanya terdiam tenang, kadang tersenyum, dan menyuruhku sabar. “Barangkali ini belum rejekimu, Nang”. Aku tahu Mak sangat sedih. Aku bisa lihat dari sorot matanya. Dari raut muka yang dibuat seolah-olah tegar. Mak pasti kecewa.
***
Mak tertidur. Sudah menjadi kebiasaan Mak kalau dia punya masalah yang tak kunjung ada jalan keluar dia selalu tidur. Mak tak kuat harus berlarut-larut dalam kesedihan. Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku tidak bisa tenang. Apalagi tadi tukang tagih datang. Hutang Mak sudah menunggak. Aku bingung harus mencari uang kemana. Meminjam ke kang Naryo, sudah pasti tak akan dikasih. Satu-satunya jalan adalah menjual sepeda onthel warisan bapak.
Akhirnya hutang terbayar walaupun harus mencicil. Mak pasti marah aku menjual sepeda onthel warisan itu. Tapi apa mau dikata, tak ada lagi sisa uang. Dan benar kiranya firasatku, Mak seharian diam tanpa mengajakku bicara. Aku merasa semakin berdosa.
Tiba-tiba saja aku teringat bapak. Dulu kehidupan kami lebih baik dari sekarang. Rasanya rejeki selalu ajeg. Barangkali juga karena aku masih remaja waktu itu. Jadi tak pernah kutahu bagaimana kerja keras yang dilakukan bapak. Yang aku tahu, aku bisa terus sekolah, bahkan sampai tamat SMU. Kalau bapak sedang tak punya uang, kami tetap bisa makan enak walaupun hanya nasi ampok(nasi jagung) dengan urap-urap daun pepaya yang pedas dan ikan asin. Sungguh enak luar biasa.
Mengingat bapak adalah mengingat semangat dan kerja keras yang tak pernah lelah. Mengingat bapak membuatku merasa tertampar: Aku harus bangun! Rasanya percuma saja kalau aku terus-menerus meratapi keadaan kami. Sampai akhirnya aku putuskan untuk pergi dari kampung ini. Meninggalkan Mak seorang diri. Aku berpamitan dengan Mak dan meminta doa restunya. Mak hanya bisa menangis melihat kepergianku.
"Lanang pergi, Mak. Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumussalam.. kamu hati-hati, Nang. Jaga diri baik-baik.” Mak masih terisak.
Itulah terakhir kali aku melihat Mak menangis. Aku pergi untuk sejemput mimpi yang kelak kuberikan kepada Mak. Mimpi-mimpi lamaku yang pernah hancur terporak-poranda. Memungut lagi satu demi satu dan merangkainya kembali dengan usaha, doa, dan kerja. Sekali lagi aku ingin membahagiakan Mak.
Dan sekarang, kali kedua kuberanikan diri untuk menatap mata Mak dalam-dalam. Hal yang telah lama tak pernah kulakukan semenjak pergi meninggalkan Mak sendiri. Katup matanya semakin cekung Sungguh aku merasa tanpa daya melihatnya. Sampai hari ini aku belum sanggup membuat Mak bahagia. Bahkan, ketika aku sudah menjadi orang yang berhasil. Lebih sukses dari kangmasku semua. Mak tak sempat menikmati mimpi yang telah lama kurangkai untuknya. Maafkan aku Mak. Aku menangis dalam hati.
Mak terus saja terbaring di tempat tidurnya. Belum ada tanda-tanda membaik. Aku masih saja duduk di samping Mak. Kupanjat segala doa-doa untuk keselamatan Mak. Hingga akhirnya Mak tersadar. Katup matanya yang cekung sedikit terbuka. Aku sungguh senang melihat Mak siuman. Mak tersenyum melihatku.
“Nang,” suaranya lirih kudengar, “kapan kamu datang?”
“Kemaren Mak” jawabku riang. “Lanang sudah jadi orang sukses, Mak. Mak cepat sembuh biar nanti Mak bisa tinggal dengan Lanang. Lanang sudah punya rumah gedung buat tempat tinggal kita. Lebih bagus dari kang Naryo.” Mak hanya tersenyum sembari mengelus pipiku. “Kau bantu kangmasmu Gono dan Jiwo. Kau kasih mereka modal usaha. Biar sukses seperti kamu.”
Mak memang selamanya Mak. Ia lebih perhatian kepada anak-anaknya ketimbang dirinya sendiri, bahkan pada saat-saat seperti ini. Ah, Mak...
“Mak senang bisa melihatmu lagi” suaranya masih saja lirih. “Mak lelah, Mak ingin istirahat”
Aku tatap sekali lagi katup mata Mak yang semakin cekung. Kerutan di wajahnya yang begitu tegas membuatku selalu teringat betapa Mak sungguh tegar dan sabar. Aku bangga kepada Mak. Dan sudah menjadi kebiasaan Mak kalau dia punya masalah atau kadangkala lelah ia selalu tidur. Mak tak kuat harus berlarut-larut dalam kesedihan dan keletihan. Namun, kali ini lain, mak tertidur untuk selamanya.
Kampung Jambu, Agustus 2008
1 comment:
Cerita yang sangat menyentuh dan bersemangat.. Selamat buat Lanang... yang telah sukses membahagiakan Maknya.
Aku ingin menangis membaca cerita ini...
Pit,
Tetap Berkarya!
Mak!!!
Post a Comment