Cerpen Ahmad Ikhwan Susilo
“Untukmu”, dua lembar uang lima puluh ribuan itu diberikannya kepadaku. Aku terima uang itu tanpa banyak kata. Hanya ucapan terima kasih, itupun lirih kuucapkan. Sudah lama sekali aku tak pernah datang ke rumah ini. Rumah ayahku. Rumah keluarga barunya. Istri baru, anak-anak baru, suasana baru, kehidupan serba baru. Ah, betapa bahagianya ayahku saat ini. Semoga masa lalunya bisa terkubur pelan-pelan.
Aku masih saja mematung dalam dudukku. Aku merasa asing. Dan memang, perasaan ini selalu saja hadir tiap kali aku datang ke rumah ini, seperti tahun lalu. Sekarang rumah ini sungguh berbeda. Banyak renovasi di sana-sini. Rumah ini tersulap menjadi rumah modern. Semakin nyaman dihuni. Sungguh berbeda dengan rumah warisan gono-gini yang kami tempati. Namun, tetap saja aku merasa asing. Asing di rumah ini. Asing dengan keluarga baru ayahku. Bahkan, asing dengan ayahku sendiri.
“Kau kemana saja tak pernah kelihatan?”, suara seorang perempuan berseloroh dari dalam kamar sambil melihat TV. Istri baru ayahku. Aku cukup terkaget. Lamunanku membuyar.
“Lagi sibuk kerja”, jawabku singkat. Tidak ada dialog lagi. Suasana kembali hening. Seandainya keponakanku tidak sakit, tentu aku tak akan mau disuruh kakakku mengantar titipan ini. Kakakku tahu bahwa aku enggan ke rumah ini. Bertemu ayah, bertemu keluarga baru ayah. Kakakku mengiba dan aku tak bisa menolaknya.
Aku ingin cepat-cepat pulang. Aku sudah tidak mampu lagi berlama-lama di rumah ini. Aku sungguh tersiksa. Tersiksa dengan segala beban-beban dan dosa-dosa masa lalu. Entah kenapa setiap kali aku bertemu dengan ayahku di rumah ini, beban-beban dan dosa-dosa itu selalu saja muncul dalam anganku. Itulah salah satu sebab kenapa dari dulu – bahkan sekarang – aku tak pernah mau dekat dengan ayah.
Amanah kakakku sudah aku sampaikan. Aku mencari-cari alasan untuk segera pulang. “Saya pamit, soalnya mau kerja. Masuk malam”, kataku berbohong. Ayah hanya diam tanpa banyak kata. Ia terus saja menatapku. Tak kutahu sedikitpun makna tatapan itu. Aku merasa dilema penuh kenaifan. Sungguh aku tak mampu berlama-lama lagi. Tanpa basa-basi lagi segera kuhidupkan motor lalu pergi meninggalkan rumah ini. Aku merasa lega. Namun, aku masih saja melamun...
***
Orang tua itu masih saja melamun dalam duduknya, di teras depan rumah, hampir saban sore menjelang magrib. Kebetulan, akhir-akhir ini senja selalu tampak indah. Merona merah dan sesekali jingga. Kebetulan juga orang tua itu sangat senang menikmati senja. Sudah lama sekali keinginannya untuk kembali ke kampung dipendamnya. Hidup di kota tak lagi menawarkan kedamaian dan kenyamanan. Ia tak pernah merasakan ketenangan. Yang ada hanyalah memburu dan diburu. Ia ingin sekali ketika pensiun nanti kembali bertani. Mengelola beberapa petak sawah yang dimiliki. Sungguh, suatu hal yang telah lama sekali tak pernah ia lakukan semenjak ia bekerja sebagai PNS. Meluangkan waktu lebih banyak untuk keluarga. Tak lupa, banyak berserah diri pada sang Khalik, di ujung usianya kini yang semakin larut. Angannya semburat tentang masa lampau, kini, dan hari depan.
Untuk keluarga? Keluarga yang mana? Ia mempunyai dua keluarga sekarang. Keluarga dengan empat orang anak dari pernikahan pertamanya yang kandas dan keluarga dengan dua orang anak dari pernikahan kedua. Ia bingung. Ingin rasanya berlaku adil buat semua. Tapi bukankah manusia tak pernah bisa adil. Ia hanya bisa berusaha untuk berbuat adil. Ah, ia terlalu lelah untuk berfikir. Ia terlalu tua untuk merubah. Biarlah semua berjalan atas kehendak sang Khalik. Satu hal yang paling ia inginkan saat ini, jangan sampai trauma masa lalu itu kembali berulang. Ia ingin hidup dalam keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah. Hingga kelak ajal mulai menjemput. Sebuah mimpi yang begitu indah.
Setiap malam pun ia tak pernah lelah untuk bertafakur memohon pada sang Khalik agar anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang berhasil. Berhasil dalam urusan dunia, berhasil pula dalam urusan akhirat. Dan hampir disetiap perenungannya, ia selalu bertanya, sudahkah ia menjadi sosok ayah yang baik bagi anak-anaknya? Benarkah selama ini ia terlalu egois memaksakan kehendaknya? Sebuah pertanyaan yang cukup mengusik. Ah, ia rasa ia tidak seperti itu. Tetapi bagaimana ia bisa menilai diri sendiri jika orang lain tak pernah berkata tentang dirinya? Apakah penilaian diri saja sudah cukup bijak dalam menilai tentang suatu hal?
“Aku ingin anak-anakku tahu hikmah di balik ini semua?” benaknya berkata, “Bukankah selama ini aku juga memberikan mereka kebebasan dalam memilih? Aku cukup mengerti mereka ingin mandiri tanpa campur tanganku, tetapi aku ayahnya. Kenapa tak satu pun diantara mereka yang mau mengerti bahwa selama ini aku bergelut dengan kegelisahan-kegelisahan akan pilihan mereka. Setidaknya mereka mau berkata apa pilihan-pilihan itu. Agar aku cukup tenang.”
***
Aku pun tidak pernah tahu kenapa setiap kali berdekatan dengan ayah aku tak pernah bisa berkata apa-apa. Aku selalu merasakan seolah ada jarak, jarak yang begitu jauh. Memang, diantara saudara-suadaraku, hanya aku yang tak mampu menghadapi ayah. Aku selalu menghindar bila ayah berkunjung ke rumah kami. Paling kalaupun terpaksa bertatap muka aku sekedar basa-basi di depannya. Benar-benar terlihat bodoh.
Hingga pernah suatu kali aku merasakan bahwa dia bukan ayahku dan aku bukanlah anaknya. Masing-masing adalah dirinya sendiri. Masing-masing adalah orang lain. Orang dengan pilihan-pilihan dan jalan hidup sendiri-sendiri. Kadangkala aku pun merasa benci kepada ayah. Dan di dalam kebencianku tadi, entah mengapa aku selalu menangis meratapinya. Sesekali pula ingin rasanya kutampar mukanya agar dia sadar bagaimana selama ini dia bersikap terhadap anaknya. Amarahku sudah memuncak!
Namun, semua itu tetap saja terbantahkan. Aku tetap anaknya dan dia adalah ayahku.
Dulu ketika aku masih remaja, ada satu kenangan busuk yang tak bisa aku lupakan. Aku berangan bisa berbuka puasa bersama ayahku. Sampai kemudian dengan susah payah aku belajar memasak bali telur juga kolak pisang untuk hidangan berbuka. Aku berharap dia berbuka denganku lalu shalat magrib dan tarawih berjamaah. Di saat-saat seperti itu kunantikan sebuah sungging senyum di bibirnya dan berkata,”Kau memang hebat.” Namun sungguh sayang, dia lebih memilih untuk berbuka di rumah istrinya.
O, bila aku mengingatnya, aku benar-benar tolol waktu itu. Barangkali aku terlalu banyak menonton kisah-kisah dramatis penuh kebodohan ala sinetron. Dan tentu saja, kebahagian tak pernah selalu berpihak pada tokoh yang menderita. Kemudian aku baru sadar, ternyata tuhan pun suka bercanda.
***
Apa gunanya pula ia harus marah-marah agar anaknya mengikuti kemauannya, toh mereka semua sudah dewasa. Sudah mampu berfikir dan menentukan pilihan mereka masing-masing. Dan diantara keempat anaknya itu, hanya si ragil yang masih menjadi buah pikirannya. Dialah yang banyak mewarisi sifat-sifat ibunya. Dari malapetaka perceraian itu, ia tahu, anaknya yang terakhir itulah yang merasa paling terpukul dibanding kakak-kakaknya. Ia sudah lama sadar, bahwa kelak si ragil akan menjadi sosok yang lain. Sosok perasa, sosok pemberang, juga sosok pemaaf.
Ah, di usianya yang semakin tua ini, ia ingin berdamai dengan keadaan. Ia ingin hidup dalam keharmonisan. Biarlah semua berjalan apa adanya. Tentu Tuhan punya maksud tersendiri.
Dan orang tua itu sungguh bahagia saat ini. Kedatangan si ragil begitu mengobati kerinduannya. Kerinduan yang begitu lama terpendam. Rasanya kegelisahan-kegelisahan dalam benak hilang sudah. Barangkali ia tak perlu lagi merasa takut dengan pilihan-pilihan anaknya. Karena ia semakin yakin, yakin dengan sepenuh hati dengan pilihan mereka
Jaman begitu cepat beralih. Dan orang tua itu semakin tahu, benar kiranya bila setiap jaman akan melahirkan anak jaman.
Ia terhentak, bangun dari lamunannya sedari tadi, ada sesuatu yang terlupakan, “Oiya, bagaimana kabar cucuku sekarang? Aku akan menelponnya.” Sebuah senyum tersungging di bibirnya. Senyum kebahagiaan yang jarang diketahui oleh anak-anaknya...
***
Aku masih saja terdiam dan hanyut dalam lamunanku. Aku masih mengingat uang pemberian ayahku tadi. Bukan soal jumlah yang diberikan, tetapi perhatiannya yang saat ini menyita pikiranku. Hal inilah yang membuat aku dilema. Di satu sisi aku begitu marah dan tak begitu peduli. Di sisi lain aku tak kuasa menampik perhatiannya. Karena jujur aku masih butuh perhatiannya. Kadangkala aku pun begitu merindukan kasih sayangnya. Ah, ayah memang tak bisa ditebak.
Barangkali selama ini aku memang terlalu merasa hebat. Barangkali juga dosa-dosa masa lalu yang membuatku terlalu berpikir picik terhadap ayah. Sepertinya aku harus lebih dewasa menilai sesuatu. Aku harus belajar untuk memaafkan dosa-dosa itu. Bukankah selama ini aku juga banyak berdosa pada ayah? Ourgh,...
Entah mengapa tiba-tiba saja aku tersenyum. Tersenyum mengingat segala keceriaan-keceriaan yang pernah aku alami bersama ayah. Itulah saat-aat terakhir aku lihat ayah tersenyum. Rasanya lama sekali. Sangat lama. Aku masih terus melamun...
Kampung Jambu, Agustus 2008
1 comment:
cerita ini mengingatkanku pd sosok ayah ;(
Post a Comment