Cerpen Ahmad Ikhwan Susilo
Tolonglah saya. Saya sangat butuh pertolongan sudara. Hanya sudara yang mampu menolong saya. Malam ini saya tunggu di kedai kopi yang biasa sudara satroni tiap malam. Pesan singkat yang baru saja masuk ke handphone-ku tadi sedikit mengusik. Tak jelas siapa nama pengirimnya dan dari mana dia tahu nomorku. Bisa dipastikan orang-orang di kedai yang memberinya. Namun, kenapa dia sangat butuh pertolonganku? Kenapa dia yakin hanya aku yang mampu menolongnya? Ah, ada apa lagi ini...
Hampir tiap malam selalu kuluangkan waktuku untuk minum kopi di kedai ini. Kedai yang letaknya di pojok perempatan pasar kota. Selain rasa kopinya yang pas di lidahku, ada hal lain yang membuatku terpikat dengan kedai ini. Tak lain adalah cerita para pengunjung kedai. Orang-orang yang datang selalu membawa cerita mereka masing-masing. Tak heran kalau kedai ini tidak pernah kehabisan cerita saban malamnya. Mereka selalu bercerita dengan bebasnya. Membuat mereka yang sebelumnya tidak mengenal atau dikenal saling berkenal satu sama lain. Akhirnya, kedai ini menjadi tempat curahan cerita-cerita mereka melepaskan segala masygul, gelak tawa, dan beban-beban.
Anehnya lagi para pengunjung itu selalu senang tiap kali aku datang ke kedai ini. Bahkan mereka rasa kurang khidmat cerita mereka jika aku tak datang mendengarnya. Memang, tiap kali selesai mendengar cerita mereka, aku selalu menyempatkan untuk menuliskannya. Biasanya cerita-cerita itu aku kirimkan ke koran-koran lokal. Mereka senang bukan main bila salah satu cerita dari mereka yang aku tulis muncul di koran tiap minggu. Jangan heran kalau dinding-dinding kedai ini banyak tertempel potongan koran yang berisi cerita para pengunjung kedai. Itu sebabnya kehadiranku selalu dinantikan. Mereka yang berharap cerita-ceritanya aku tulis.
Malam ini aku ke kedai lebih awal. Masih terlihat lengang. Hanya ada beberapa orang. Aku menyapa mereka. Di pojok kedai itu seseorang mengang kat tangannya memberi isyarat. Orang itu berbadan besar berambut panjang dengan pakaiannya serba hitam. Tampak lusuh.
“Sayalah yang mengirim pesan ke sudara”. Aku hanya tersenyum dan menjabat tangannya.”Apa yang bisa saya bantu?” tanyaku. “Tolong tulis dan sebarkan cerita saya”. Aku sempat tertegun, namun tak kuasa untuk menolaknya, “Jadi untuk itu anda mengirim pesan ke saya?” ia mengangguk pelan. Lantas lelaki yang tak jelas kutahu asal-usulnya itu mulai bercerita. Cerita tentang tipu-muslihat. Seorang penipu yang menipu dan orang-orang tertipu...
Entah siapa dan dari mana asalnya perempuan tua itu tak ada yang tahu pasti. Orang sekedar tahu namanya Lastri Ayu Diahningrum. Ia baru saja menikah. Dan ia cukup beruntung bersuami masih muda. Umur mereka selisih delapan belas tahun. Apa mau dikata kalau uang sudah bicara? Sampai akhirnya banyak orang yang menganggap perempuan tua itu bak dewi penolong yang datang dengan segudang rahmat tuhan. Ia baru saja pulang dari luar negeri. Membawa kabar yang tentunya sangat membahagiakan. Ia pulang untuk mencari rekan yang mau ikut bekerja di luar negeri. Gayung pun mulai bersambut.
***
Sebenarnya keinginan utamanya cuma satu, ia ingin membuat rumah sendiri. Sejak pernikahannya dengan Tri selama ini pula ia masih tinggal bersama orang tua dan menantunya. Perasaan malu sebagai lelaki itulah yang mendorong niatnya untuk menjadi TKI. Pikirnya, Indonesia sudah tidak mampu lagi memberikan harapan yang pasti tentang hidup. Pekerjaan sangat sulit didapat. Ingin membuka usahapun harus mempunyai modal yang sangat besar. Sedang harta yang dipunya tak seberapa nilainya.
Memang, begitu banyak koperasi-koperasi yang memberi kredit usaha kepada mereka yang ingin mencari modal usaha dengan beberapa syarat yang telah ditentukan, tetapi setelah dipikir-pikir ia merasa tidak mampu dengan bunga yang harus dibayar. Lagi pula belum tentu penghasilannya tiap bulan mampu mencukupi untuk membayar angsuran kreditnya. Menjadi petani, laba pun tak tentu, selalu dikalahkan oleh harga panen yang turun dan biaya produksi yang tinggi. Sangat tidak seimbang dengan kebutuhan sehari-hari.
“Bagaimana urusan paspornya, mas?” tanya Tri sambil menyiapkan makan siang suaminya yang baru pulang dari kantor imigrasi.
“Alhamdulillah lancar, Tri” jawab Gito dengan raut ceria. “Ini tadi cuma tinggal tanda tangan. Besok sudah bisa diambil.”
Sungguh girang hati Tri mendengar kabar itu dari suaminya. Dan sekali lagi angannya mulai melambung tanpa arah. Mencoba menatap masa depan yang akan datang dengan gemilang. Terbayang beberapa rencana-rencana yang sudah ia susun sebelumnya. Membangun rumah gedung, berlantai keramik, dapur yang tampak menawan, perlengkapan rumah tangga yang serba komplit, tempat tidur springbed yang empuk, tak lupa sepetak sawah dan beberapa ekor sapi brahman.
“Kamu kenapa senyum-senyum, Tri? Mimpi apa lagi kamu?”
“Ah, sampeyan ini, tidak bisa lihat istri senang. Bayangkan kalau sampeyan sudah berangkat, kerja tiga tahun di sana? Hidup kita bisa lebih baik, mas.” Tri masih saja girang.
“Iya, iya, belum berangkat saja kamu sudah mesam-mesem, apalagi kalau aku sudah berangkat? Tapi, Tri...” tiba-tiba Gito tersendat, ada nada khawatir dalam benaknya,”kalau aku gak jadi berangkat gimana?”
“Huussh...sampeyan jangan ngomong seperti itu! Kemaren aku sudah tanya orang pintar, dia punya firasat katanya sampeyan pasti berangkat. Dia ngasih syarat ini untuk sampeyan minum. Katanya biar lancar usaha kita, mas!” Gito pun meneguknya sampai habis tak bersisa. Ia semakin jumawa.
***
Perkenalan Lastri dengan Gun cukup singkat. Gun mengenal Lastri dari seorang teman perempuannya yang kini sudah bekerja di Hongkong. Alangkah senang hati Gun mendengar tawaran Lastri. Bekerja keluar negeri menjadi TKI.
“Kau ajak pula sanak famili atau teman dekatmu, Gun. Itung-itung kita beramal. Ini kesempatan bagus lho. Lagi pula saya masih butuh banyak rekan. Kemaren banyak yang pulang karena kontrak kerja mereka habis dan tidak diperpanjang lagi.”
“Iya, bu. Saya pasti tawarkan ini ke saudara dan teman-teman saya. mereka pasti banyak yang minat” Lastri pun tersenyum pulas. Gun tidak tahu apakah itu senyum ketulusan atau senyum penuh kelicikan. Gun terlalu sibuk berangan.
“Wes to, nanti aku kasih persenan dari tiap orang yang kamu ajak, Gun” Lastri semakin membuai. Gun bertambah mabuk.
***
Di sebuah warung kopi dua orang pemuda sedang duduk berbincang sambil menikmati dua cangkir kopi kental pahit dan beberapa goreng pisang. Pemuda yang satu berbadan besar sedikit gemuk, dan yang satu lagi sedang saja. Mereka sama-sama mempunyai mimpi besar. Beratnya beban hidup yang harus dihada pi mengantar mereka pada pilihan untuk merantu ke negeri seberang. Banyak cerita keberuntungan dari mulut orang-orang kampung yang sanak sudaranya merantau di sana. Dari pada hidup penuh ketidakpastian di kampung sendiri kiranya ini menjadi pilihan yang terbaik.
“Coba kau bayangkan, dengan gaji 13 juta per bulan atau tarohlah minim 9 juta, kita bisa buka usaha apa saja. Kita bisa beli apa yang kita mau. Itu baru sebulan. Nah, kalau kita kerja 3 tahun? Bisa kau hitung sendiri.” Pemuda berbadan besar sedikit gemuk itu tampak bersemangat dan meyakinkan.
“Aku kira memang seperti itu. Toh, kalau kita bertahan di sini, seandainya kita dapat kerja pun gajinya tidak sebanding dengan rekoso yang kita lakukan.”
“Ya, begitulah” ia mengangguk pelan
“Tapi, pernah tidak kamu merasa, kadang apa yang kita lihat nyata hari ini ternyata hanya sebuah dusta belaka?”
“Optimis saja. Kemaren aku barusan dari Kyai. Dia bilang, padang tak ada halangan. Artinya kita pasti berangkat. Kemaren mas Gito, mbak War, mas Bambang, Wito, Lukman juga tanya sama orang pintar. Jawabannya sama: kita berangkat! Walaupun...”
“Apa?”
“Ada beberapa yang bilang kita gagal berangkat. Ah,...”
***
“Mas Gun melarikan diri, sudah seminggu ini. Bagaimana sekarang?”
Mendengar berita itu seketika raut muka Gito menjadi pasi. Ia hanya terdiam sambil tersenyum kecut. Pikirnya melayang tanpa arah, berusaha tetap tenang dan menguasai emosi dalam diri. Mencoba menganalisa apa gerangan yang baru didengarnya itu memang benar adanya. Ia tidak percaya Gun akan berbuat setega itu. Ini tidak mungkin.
Aku sudah mengenalnya sejak dulu. Aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa sekeji ini. Seandainya itu memang benar, ia tidak hanya menipuku dan semua orang, tetapi telah merusak persaudaraan ini. Bajingan tengik! gerutu Gito dalam hati.
Ia tetap terdiam. Berpikir tenang.
“Bagaimana dengan Lastri?”
“Sama. Tak ada yang tahu rimbanya...”
Malam semakin beranjak dan satu persatu orang-orang mulai datang ke kedai ini. Sepertinya malam ini akan terasa panjang. Aku sudah bersiap diri untuk mendengar cerita-cerita mereka.
“Begitulah cerita saya sudara”, lelaki di hadapanku itu tampak mau mengakhiri ceritanya, “tolong tulis dan sebarkan cerita saya tadi agar kelak tidak banyak orang yang bernasib serupa. Terima kasih banyak sebelumnya”. Lelaki itu segera menghabiskan sisa kopi di cangkir yang sudah dingin. Sambil menyulut rokok, ia berdiri bergegas pergi meninggalkanku.“Oiya, saya belum tahu nama anda!” seruku.
“Nama saya...,Gun” lelaki itu tersenyum ke arahku sambil terus pergi berlalu.
Pare, 18 Agustus 2008
1 comment:
gud story brother, cerita nyatakah? memang penipuan semakin marak, aplagi yang lewat media, dan korbanya pun massiv, n penipuan lewat media ini nih, objeknya bukan lain dan bukan adalah otak2 kaum muda yang mengambang dan masih berpeluh ria dalam arus hedonitas, aku tunggu cerita yang lain ya kawan,
Post a Comment